Mereka yang kembali dari belenggu kalam


     Diriwayatkan dari para ahlul ilm yang komit dengan faham salaf bahwa mereka telah mencela ilmu kalam dan melarangnya untuk dipelajari guna mencari sebuah kebenaran, akan tetapi tetap saja banyak orang-orang yang mempelajarinya bahkan ada diantara mereka yang sampai ahli didalamnya, yang sebenarnya ujung-ujungnya kebingungan dan penyesalan saja yang mereka dapati, disini akan kami sebutkan beberapa pembesar dari mereka yang bertobat dan kembali ke jalan salaf, sehingga harapan kami, ini dapat menjadi pertimbangan, khususnya bagi kita yang selama ini telah mempelajarinya, untuk memilah kitab-kitab mereka untuk dipelajari, dan pada akhirnya ini pula akan menjadi persaksian akan kebersihan aqidah mereka, di antara mereka adalah abul hasan al-asy’ari, al-baqilani, ibnu ‘aqil al-hambali, abu muhammad al-juwaini, abul ma’ali al-juwaini, al-ghozali, asy-syahrostani, al-fakhr ar-rozi dan lainnya.
     Tentang abu muhammad al-juwaini, beliau menulis sebuar risalah nasihat yang beliau peruntukkan kepada saudara-saudaranya yang asya’iroh, khususnya yang semadzhab dengan beliau yaitu madzhab imam asy-syafi’i, beliau berkata dalam risalah tersebut: Aku bingung melihat ucapan yang berbeda-beda yang ada pada kitab-kitab sekarang, tentang menta’wil sifat dan merubahnya, atau membiarkan dan menggantungkannya, atau menetapkannya tanpa ta’wil, tanpa meniadakannya, tanpa menyerupakannya dan tanpa menyamakannya. Beliau berkata: Sedang aku takut mengatakan sebuah ucapan yang menetapkan ‘uluww, istiwa’ dan nuzul, karena aku khawatir membatasi dan menyerupakan, bersamaan dengan itu aku melihat nash-nash yang ada dalam kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wasallam,  aku temukan nash-nash yang mengisyaratkan akan hakekat makna-makna ini, aku temukan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya, mengkhabarkan dari Tuhannya dan mensifati-Nya dengannya. Beliau berkata: Ketika aku telah mengetahui hal tersebut dan meyakininya, maka aku mengambil kesimpulan bahwa kacaunya men-ta’wil, bodohnya meniadakan, dungunya menyerupakan dan menyamakan, aku telah menetapkan keluhurannya, ketinggiannya dan ber-istiwa’-nya diatas ‘arsy-Nya sebagaimana Dia meninggikan dengan kemulyaan-Nya dan kebesaran-Nya, hal tersebut merupakan kebenaran yang nyata dan melegakan dada.
     Tentang abul ma’ali al-juwaini, disebutkan oleh ibnul jauzi dalam al-muntadzom nya, as-sam’ani dalam dzail nya, adz-dzahabi dalam siyar dan tarikh nya, as-subki dalam thobaqot nya, al-munawi dalam faidhul qodir dan lainnya, bahwa al-hafidz abu ja’far muhammad bin abi ‘ali bin muhammad al-hamadzani mengatakan dalam catatannya: aku mendengar abal ma’ali berkata: aku telah membaca lima puluh ribu dalam lima puluh ribu, kemudian aku menjauhkan orang-orang islam dengan keislaman mereka dan ilmu-ilmu mereka yang nyata, aku telah mengendarai lautan yang dalam nan luas, aku telah memenuhi kerongkonganku dengan apa yang telah dilarang oleh orang-orang islam (‘ulama’ salaf), kesemuanya untuk mencari sebuah kebenaran. Sekarang aku telah menjauhkan diriku dari mengikuti masa lalu, dan sekarang aku kembali secara keseluruhan kepada yang haq. Menetapi agama orang-orang tua. Kemudian jika Alloh tidak memberiku sebuah kebenaran dengan kelembutan kebaikannya, lalu aku mati di atas agama orang-orang tua, menutup akhir perjalananku dengan petunjuk ahlulhaq, dan di atas kalimatil ikhlas: la ilaha illalloh, maka sungguh kerugian bagi ibnil juwaini.
Disebutkan pula bahwa abu zur’ah, al-hafidz abul ‘ala’ al-ashbihani dan lainnya menceritakan dari abulhasan al-qoirowani, dia berkata: suatu hari aku mendengar abul ma’ali berkata: wahai sahabat-sahabatku, janganlah kalian menyibukkan   diri dengan ilmu kalam, seandainya aku mengetahui bahwa kalam membawaku kepada keadaanku sekarang ini, niscaya aku tidak akan menyibukkan diriku dengannya.
Adz-dzahabi menceritakan dari yahya bin abi manshur dan lainnya, dari al-hafidz  abdil qodir ar-rohawi, dari al-hafidz abil ‘ala’ al-hamadzani, dari al-hafidz abi ja’far al-hamadzani, dia berkata: Aku mendengar abal ma’ali al-juwaini, dia ditanya tentang firman Alloh “الرَّحمن على العرش استوى” kemudian dia menjawab: Alloh ada dan tidak arsy. Dia serampangan dalam mempraktekkan ilmu kalam, kemudian aku bertanya kepadanya: sungguh kami telah mengetahui apa yang engkau isyaratkan, lantas apakah jika dalam keadaan terpaksa boleh melakukan siasat? Beliau menjawab: apa yang engkau kehendaki dengan ungkapan ini dan apakah aku mensifati dengan isyarat-isyarat ini? Kemudian aku menimpalinya: tidakkah yang berucap lebih mengetahui, sebelum beliau menggerakkan lidahnya seperti ada sesuatu yang beliau kehendaki dalam hatinya, beliau tidak menoleh kekanan maupun kekiri, beliau mengarah ke atas. Apakah keterpaksaan ini merupakan siasat engkau, ceritakan kepada kami agar kami bisa memberikan kesimpulan tentang arah atas dan bawah? Kemudian aku menangis, juga orang-orang yang hadir, kemudian beliau memukulkan lengan bajunya ke tempat duduknya sampai terbelah karena bingungnya. Dia merobek apa yang ada, sehingga beliau berdiri dan mengakhiri majlisnya tanpa memberikan jawaban kepadaku selain beliau hanya berucap: wahai kekasihku, bingung bingung, bingung bingung, kemudian selang beberapa waktu aku mendengar dari murid-muridnya berucap: kami mendengar beliau berkata: al-hamadzani telah membingungkanku.
Ibnul jauzi menceritakan dari hibbatulloh bin al-mubarok as-siqthi, dia berkata: berkata muhammad bin al-kholil al-busyanji kepadaku: muhammad bin ‘ali al-hariri bercerita kepadaku, dia adalah murid abul ma’ali al-juwaini: suatu ketika aku menjenguk beliau yang sedang sakit, yang sakitnya tersebut mengantarkan pada kematiannya, ketika itu gigi-giginya tanggal dan darinya keluar ulat yang menyengat baunya, kemudian beliau berkata: ini adalah hukumanku menyebarkan ilmu kalam, maka waspadalah terhadapnya.
Adz-dzahabi menceritakan dari abu abdillah ar-rustumi, dari dari abul fath ath-thobari, dia berkata: aku menjenguk abul ma’ali di kala sakitnya, kemudian beliau berkata: persaksikanlah oleh kalian bahwa aku telah kembali dari semua ucapan yang menyelisihi sunnah, dan aku akan mati diatas kematian yang akan menimpa orang-orang tua naisabur.
Meskipun cerita ini diragukan oleh as-subki, tapi al-juwaini telah menulis ar-risalatun nidzomiyyah di akhir kehidupannya, yang menjadikannya bukti bahwa beliau telah kembali kepada jalan salaf. Beliau berkata dalam kitabnya tersebut: ketika aku melihat para ‘ulama’ islam, mereka adalah para sahabat dan tabi’in, mereka memalingkan dari men-ta’wil, sedang mereka adalah orang yang paling tahu tentang agama ini, lebih bersungguh-sungguh dalam menjaganya. Kemudian beliau berkata: kalau hal tersebut itu baik, maka selayaknyalah mereka didahulukan dari pada lainnya. Beliau berkata lagi di tempat lain dari kitabnya tersebut: yang aku meridhoinya dari segi pikiran dan aku ber-agama kepada Alloh dari segi akal adalah mengikuti salaful ummah, yang pertama adalah ittiba’ dan menjauhi bid’ah, dalil yang pasti tentang hal tersebut adalah bahwa ijma’ul ummah adalah merupakan hujjah yang harus di ikuti, dimana inti syari’at disandarkan kepadanya.
Yang pada akhirnya as-subki mengatakan sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya: bagi asya’iroh ada dua qoul yang masyhur didalam menetapkan shifat, apakah membiarkannya sebagaimana dzohirnya dengan meyakini kesuciannya, atau di ta’wil? Ungkapan membiarkan disertai keyakinan kesucian disematkan kepada salaf, dan ini adalah pilihan sang imam dalam ar-risalatun nidzomiyyah maupun di tempat lain dari ucapannya.
Ucapan al-juwaini dalam ar-risalatun nidzomiyyah tersebut seharusnya sudah menjadi bantahan bagi as-subki , karena beliau sebelumnya telah mengatakan bahwa madzhab kholaf lebih tahu dan lebih dapat menjadi ketetapan.
     Tentang al-ghozali, disebutkan oleh ibnu ‘asakir dalam tarikh damasyqi, adz-dzahabi dalam siyar a’lamin nubala’ dan tarikhul islam, al-yafi’i dalam mir’atul jinan, tajuddin as-subki dalam thobaqotusy syafi’iyyah dan lainnya, dari abdul ghofir bin isma’il al-farisi, seorang murid al-ghozali, dia berkata: di akhir umurnya beliau menetapi hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, menghadiri majlis para ahli hadits dan menela’ah kitab shohih bukhori dan muslim.
Perkataan abdul ghofir tersebut merupakan potongan dari perkataannya yang berbentuk tulisan yang panjang, yang menurut as-subki terdiri dari dua bagian, as-subki tidak menolak tulisan tersebut, cuma dia membuat sebuah pertanyaan, yang menurutnya: apakah hal tersebut dikarnakan fanatisme belaka dari al-hafidz (abdul ghofir) kepadanya (al-ghozali), sebagaimana yang telah dilakukan oleh adz-dzahabi yang fanatik (tidak suka) kepada beliau (al-ghozali)? Dijawab sendiri oleh beliau: mungkin keadaannya seperti itu, mungkin pula dia tidak memperhatikan keadaan sang imam yang lain, yang disini dia tidak bermaksud untuk menghina, sedang adz-dzahabi, dia menyebutkannya (perkataan abdul ghofir), dan dia menambahinya sekehendaknya.

Terlepas dari itu semua, di akhir hidupnya pula al-ghozali telah mengarang kitab “iljamul ‘awam ‘an ‘ilmil kalam”, sebagaimana dijelaskan oleh an-nawawi dalam majmu’ nya, ibnu taimiyyah dalam majmu’ fatawa nya, az-zarkasyi dalam al-burhan dan al-bahrul muhith, as-sanqithi dalam adhwa’ul bayan, az-zarkali dalam al-a’lam dan lainnya, an-nawawi mengatakan: Dia menyebutkan di dalamnya bahwa semua manusia adalah awam dalam fan ini (kalam), apakah mereka dari golongan fuqoha’ maupun lainnya, kecuali yang menyimpang dan itu sangat sedikit, yang orang-orang tidak boleh bermurah hati dengan seorang pun dari mereka. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan al-ghozali dalam kitabnya tersebut: menceburkan diri dalam ta’wil, apakah dari kalangan orang awam maupun dari kalangan ‘ulama adalah bid’ah yang tercela. Ini berbeda dengan yang dikatakan oleh beliau sebelumnya, seperti dalam ihya’nya yang mengatakan bahwa seyogyanya ilmu kalam ini dipelajari oleh orang-orang khusus dari kalangan ahli kalam dan debat, yaitu beliau mengatakan: tidak bisa ditawar lagi bahwa ilmu ini harus ditegakkan menjadi bagian dari fardhu kifayah. Beliau mengatakan lagi: tidak bisa tidak dalam setiap negeri harus ada yang menegakkan ilmu ini untuk membantah syubhat para ahli bid’ah yang tersebar dinegeri tersebut.
Al-ghozali berkata dalam kitabnya tersebut: sesungguhnya kebenaran yang nyata, yang tidak ada perdebatan didalamnya, menurut para ahli bashiroh (orang yang mengambil ilmu dengan pembuktian dan hujjah) adalah madzhab salaf, yang aku maksud adalah madzhabnya para sahabat dan tabi’in. Dia berkata: dan barang siapa menyelisihinya maka dia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah).
Kemudian dalam kitabnya tersebut beliau membuat empat kaidah ushul terhadap madzhab salaf, yang menurut beliau: setiap orang yang berakal pasti menerimanya. Yaitu:
Yang pertama, bahwa orang yang paling mengetahui tentang kebaikan keadaan para hamba, yang berkaitan dengan kebaikan akhirot mereka adalah Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam.
Kedua, bahwa Beliau shollallohu ‘alaihi wasallam diserahi wahyu kepada sekalian makhluq untuk kebaikan akhirot dan dunia mereka, dan Beliau tidak menyembunyikan sesuatu pun dari wahyu tersebut.
Ketiga, bahwa salaf sendiri adalah orang-orang yang paling mengetahui makna-makna firman Alloh, yang paling bisa menjabarkan hakekatnya, mereka mendapati rahasia-rahasia orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, bahkan mereka bertekun diri siang dan malam, mereka singsingkan lengan bajunya untuk memahami firman-Nya.
Dan keempat, bahwa dalam sepanjang umur mereka, sepanjang masa salaf, mereka tidak pernah mengajak orang-orang untuk melakukan pembahasan, penelitian, pentafsiran, penta’wilan dan memperluaskan pembahasan seperti dalam persoalan ini, bahkan mereka menjauhi untuk menyelaminya, mereka bertanya dan berkata sebagaimana yang ditetapkan atas mereka.
Setelah memberikan penjelasan di atas, beliau berkata: kemudian aku mengetahui dengan pasti dari ushul-ushul ini, bahwa yang paling haq adalah yang mereka katakan, yang paling benar adalah pendapat mereka (salaf).
     Tentang al-fakhr ar-rozi, disebutkan bahwa beliau merasa menyesal telah masuk ke dalam ilmu kalam, sebagaimana yang dikatakan oleh ibnush sholah, ia berkata: al-quthb ath-thughoni memberitahukanku dua kali bahwa dia telah mendengar fakhruddin ar-rozi berkata: andai saja aku tidak meyibukkan diri dengan ilmu kalam, lalu dia menangis.
Disebutkan pula oleh ibnu khollikan dalam wafiyatul a’yan, ibnu taimiyyah dalam dar’u ta’arudhil aql wan naql, majmu’ul fatawa dan majmu’atur rosa’ilul kubro, isma’il abul fida’ dalam al-mukhtashor fi akhbaril basyar, adz-dzahabi dalam siyar a’lamin nubaala’ dan tarikhul islam, ibnu qoyyim al-jauziyyah dalam ijtima’ul juyusyil islamiyyah, ash-shofadi dalam al-wafi bil wafiyat, tajuddin as-subki dalam thobaqotusy syafi’iyyah, ibnu katsir dalam thobaqotusy syafi’iyyah, ibnu abil ‘izz dalam syarhu ‘aqidatith thohawiyyah, al-baha’ul ‘amili dalam al-kasykul, tentang bait-bait sya’ir dari ar-rozi, yaitu:
Akhir dari mendahulukan akal adalah buntu
     Dan puncak usaha orang-orang alim adalah sesat
Dan roh-roh kita merana dalam tubuh-tubuh kita
     Dan hasil dunia kita adalah kesakitan dan musibah
Dan kita tidak mendapatkan faidah dari pembahasan kita sepanjang umur kita
     Selain kita mengumpulkan didalamnya: katanya dan mereka berkata
Lantas berapa tokoh dan kekuasaan yang telah kita lihat dengan seksama
     Kemudian mereka semua binasa dengan cepatnya dan musnah
Dan berapa gunung yang telah didaki puncaknya
     Oleh orang-orang, kemudian mereka musnah, dan gunung itu tetap gunung
Kemudian disebutkan oleh ibnu taimiyyah, adz-dzahabi, ibnu katsir, ibnu qodhi syuhbah, ibnu abil ‘izz, asy-syanqithi dan lainnya, bahwa beliau berkata: Sungguh aku telah memperhatikan berbagai jalan ilmu kalam dan metode-metode filsafat, kemudian menemukannya ia tidak menghilangkan dahaga, tidak pula bisa menyembuhkan sakit, dan aku telah melihat bahwa metode yang paling benar adalah metode al-qur’an, aku membaca dalam al-qur’an: (والله الغني وأنتم الفقراء), dan firman Alloh: (ليس كمثله شيء), (قل هو الله أحد). Dan aku membaca dalam penetapan (الرحمن على العرش استوى), (يخافون ربهم من فوقهم), dan (إليه يصعد الكلم), dan aku membaca bahwa kesemuanya dari Alloh, (قل كل من عند الله), kemudian dia berkata: aku berkata dari lubuk hati, dari dalam jiwa: sesungguhnya aku mengakui bahwa semuanya adalah sempurna, kecuali keutamaan yang lebih agung dan mulia itu bagimu, dan segala sesuatu yang cela dan kurang, maka Engkau tersucikan darinya.
Disebutkan pula sebuah wasiat dari ar-rozi, yaitu yang disebutkan oleh ibnu abi ushoibi’ah dalam ‘uyunul ambiya’, adz-dzahabi dalam tarikhul islam, ash-shofadi dalam al-wafi bil wafiyat, tajuddin as-subki dalam thobaqotusy syafi’iyyah, ibnu katsir dalam al-bidayah wan nihayah dan thobaqotusy syafi’iyyah, ibnu qodhi syuhbah dalam thobaqotusy syafi’iyyah, dan lainnya, wasiat tersebut telah beliau imla’ kan menjelang kematiannya kepada murid sekaligus temannya yaitu ibrohim bin abi bakr bin ‘ali al-ashbihani, beliau mengatakan dalam wasiatnya tersebut: Yang telah aku lihat dalam kitab-kitab terpercaya, bahwa dunia yang istimewa ini dibawah pengaturan seorang pengatur yang bersih dari kiasan yang berputar-putar, yang bersifat dengan kesempurnaan kekuasaan, pengetahuan dan kasih sayang-Nya, sungguh aku telah menggeluti cara kalam dan metode filsafat, kemudian aku tidak mendapati darinya faidah yang menyamai faidah yang aku temui dalam al-qur’an, karena ia berjalan dengan menundukkan kebesaran dan keagungan kepada Alloh, dan mencegah mendalami untuk mengarahkan saling bentrok dan berlawanan, tiada hal tersebut selain karena pengetahuan, yang akal manusia telah memusnahkan kesempitan yang dalam dan cara-cara yang samar tersebut.
Ibnu katsir berkata: telah disebutkan wasiatnya menjelang kematiannya, bahwa dia telah kembali dari madzhab kalamnya ke jalan salaf dan menyerahkan yang datang sesuai bentuk yang dikehendaki yang layak dengan keagungan Alloh yang maha suci.
Ibnu katsir juga menukil perkataan ar-rozi, beliau mengatakan: Barang siapa menetapi agama orang-orang tua maka dia telah beruntung. Perkataan ini juga dinukil oleh al-asqolani dalam lisanul mizan dan al-munawi dalam faidhul qodir. Istilah agama orang-orang tua tersebut telah masyhur dikalangan para ulama’ terdahulu yang ditujukan untuk menyebutkan madzhab yang dianut para salaf..
فنسأل الله تعالى أن يوفقنا إلى الحق وأن يهدينا إلى الصراط المستقيم، إنه هو السميع العليم، وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم، والحمد لله رب العالمين.

Dikumpulkan ulang oleh: muhammad royani bin muzani bin abdurrozzaq al-jalawi