Wahhabi bukan musyabbihah


     Wahhabi atau wahhabiyyah adalah penisbatan kepada pengikut muhammad bin abdulwahhab an-najdi oleh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka, orang-orang tersebut mempersangkakan bahwa orang-orang wahhabi tersebut adalah musyabbihah atau mujassimah. Begitu pula KH. sirojuddin abbas dalam bukunya yang berjudul i’tiqod ahlussunnah wal jama’ah, buku yang masyhur di asia tenggara sebagai rujukan untuk mempelajari aqidah ahlussunnah dan aqidah-aqidah lainnya yang menyimpang darinya, beliau mengatakan dalam bukunya tersebut: kebanyakan kaum musyabbihah atau mujassimah ini berasal dari orang-orang yang menganut madzhab hanbali. Kemudian beliau menyebut beberapa nama ashhab ahmad bin hambal seperti abu abdillah al-warroq, al-qodhi abu ya’la bin al-farro’ dan abul hasan az-zaghuni sebagai imam nya kaum musyabbihah dan beliau dudukkan mereka bersama nama-nama lain dari golongan rofidhoh, mu’tazilah dan jahmiyyah, bahkan ibnu ‘asakir mengisahkan dalam tabyinnya dari abi muhammad at-tamimi, seorang hambali yang menurut ibnu ‘asakir dia menutup diri dari teman-temannya karena mempunyai prinsip yang berbeda, abu muhammad berkata tentang al-qodhi abu ya’la: Alloh tidak merahmatinya, sungguh telah kencing dari golongan hanabilah dengan kencing yang besar, yang kencing tersebut tidak akan bisa di bersihkan sampai hari kiamat. Yang dimaksud abu muhammad adalah tentang ucapan tasybih. Ibnul ‘arobi (murid al-ghozali) berkata dalam al-‘awasim: Abu ya’la telah menetapkan sifat-sifat Alloh sesuai dzohirnya, kemudian dia (abu ya’la) berkata: tetapkanlah olehmu sekehendakmu selain jenggot dan ‘aurot. Yang perkataan ini insyaAlloh akan kami jelaskan bahwa sebenarnya merupakan perkataan dari al-juwarobi. Tidak ketinggalan pula ibnu atsir dalam kitabnya al-kamil, beliau mengomentari kitab abu ya’la yang berjudul “ibtholuth ta’wilat”, beliau berkata: kesemua isinya sangat mengherankan, susunan bab-babnya menunjukkan tajsim. Banyak pula dari para fuqoha’ syafi’iyyah yang berkomentar tentang ibnu taimiyyah, seperti al-hushni (pengarang kifayatul akhyar) mengatakan dalam “daf’u syabbah”: sesungguhnya ibnu taimiyyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang kelewatan dalam tasybih dan tajsim. Demikian pula al-haitami mengatakan dalam al-jauhar-nya: dia menjelaskan kepada orang-orang umum diatas mimbar-mimbar tentang pengakuan arah dan tajsim. Jauh sebelum ini, orang-orang mu’tazilah dan jahmiyyah telah menuduh ahmad bin hambal dan para shahabatnya sebagai musyabbihah atau mujassimah.
     Musyabbihah adalah kata yang ditujukan kepada orang yang menyerupakan Alloh dengan makhluqNya atau menyerupakan makhluq-makhluq dengan Alloh, sedang mujassimah merupakan persamaan kata dari musyabbihah yang bermaksud bahwa dia berpaham Alloh mempunyai anggota badan seperti makhluq. Asal-usul faham ini adalah dari orang-orang yahudi dan nashroni, orang-orang yahudi telah menyerupakan Alloh dengan seorang makhluq yang lemah, mereka mengatakan bahwa Alloh itu melarat, tanganNya terbelenggu dan Dia merasa kepayahan setelah menciptakan makhluq, maka Dia sekarang tengah beristirahat. Sedang orang-orang nashroni telah menyerupakan ‘isa dan ibunya dengan Alloh, dan menjadikan mereka berdua sebagai tuhan-tuhan. Maha suci Alloh dari kebohongan mereka ini.
Faham tasybih dalam islam pertama kali dikemukakan oleh abdulloh bin saba’, seorang rahib yahudi yang masuk islam dan akhirnya merusak islam dari dalam dari segi aqidah maupun politik hingga memunculkan kelompok syi’ah rofidhoh, dia menyebut bahwa ‘ali adalah tuhan. Dari golongan rofidhoh ini ada yang menyerupakan sifat-sifat Alloh dengan sifat-sifat selainNya, seperti hisyam bin al-hakam yang mensifati Alloh dengan sifat-sifat yang buruk, juga dawud al-juwarobi yang telah mensifati Alloh dengan seluruh anggota badan manusia selain kemaluan dan jenggot!!
     Seluruh ‘ulama ahlus sunnah telah sepakat bahwa faham tasybih ini adalah kufur dan bisa mengeluarkan pelakunya dari islam, karena mereka telah menafikan tauhid kepada Alloh.
Alloh berfirman:
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾. الشورى: ١١
“ tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Nya, dan Dia lah yang maha mendengar lagi maha melihat “ QS. Asy-Syuro: 11
Alloh berfirman lagi:
﴿ فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ ﴾. البقرة: ١٣٧
“ maka jika mereka beriman kepada yang serupa dengan apa yang kamu telah beriman kepadanya “ QS. Al-Baqoroh: 137
Dikeluarkan oleh ibnu jarir, ibnu abi hatim dan al-baihaqi dalam al-asma’ was-sifat dari ibni ‘abbas, dia berkata: Jangan kalian katakan: “ maka jika mereka beriman kepada yang serupa dengan apa yang kamu telah beriman kepadanya karena Alloh tidak ada yang menyerupaiNya, akan tetapi katakan: “ maka jika mereka beriman kepada Dzat yang kamu telah beriman kepadanya.
Al-baihaqi berkata dalam al-asma’ was sifat: ketika ada dari makhluq Alloh menyerupakanNya, maka wajib atas ia sebagaimana yang ia serupakan.
     Sedang keyakinan yang difahami oleh ahmad bin hambal dan para shahabatnya, termasuk ibnu taimiyyah dan ibnu abdulwahhab adalah mereka menetapkan semua sifat Alloh yang Dia sifatkan kepada diriNya sendiri dalam al-quran maupun melalui lisan NabiNya shollallohu ‘alaihi wasallam, seperti ‘ilm, qudroh, irodah, sam’, kalam, jalal, ikrom, jud, in’am dan ‘adhomah, termasuk sifat-sifat yang mengandung tasybih seperti tangan, muka dan lainnya, mereka mengimaninya tanpa menyerupakannya dengan sesuatupun dari makhluqNya. Tidak diragukan lagi bahwa para ‘ulama dari kalangan pengikut salaf sendiri maupun kholaf dengan sepakat telah menisbatkan faham seperti ini kepada salaf, yaitu yang difahami para shohabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, sehingga dengan ini apa yang dituduhkan kepada ahmad bin hambal dan para shohabatnya sebagai musyabbihah adalah tidak benar, yang benar adalah apa yang dikatakan oleh ahmad bin hambal sendiri: jahmiyyah, sungguh mereka menyebut ahlusunnah dengan musyabbihah. Demikian pula abu hatim ar-rozi mengatakan: ciri-ciri jahmiyyah, mereka menyebut ahlussunnah sebagai musyabbihah.
     Berkata asy-syahrostani dalam al-milal wan nihal: Ahmad bin hambal, dawud bin ‘ali al-ashfihani dan sekelompok imam salaf lainnya, mereka berjalan diatas manhaj salaf generasi pendahulu mereka dari kalangan ahli hadits seperti malik bin anas dan muqotil bin sulaiman, mereka menapaki jalan selamat dengan mengatakan: kami beriman dengan apa yang datang dari al-qur’an dan sunnah, kami tidak melebarkan pembahasan dengan menta’wilkannya setelah kami mengetahui secara pasti bahwa Alloh ‘azza wa jalla tidak ada yang menyerupainya dengan sesuatupun dari makhluqNya, dan setiap sesuatu yang diserupakan dalam sebuah angan-angan berarti dia telah menciptakannya dan menetapkannya. Mereka terjaga dari faham tasybih.
     Berkata pula al-fakhrur rozi dalam kitab i’tiqodat firoqul muslimin wal musyrikin: ketahuilah bahwa sekelompok orang dari mu’tazilah telah menisbatkan tasybih kepada imam ahmad bin hambal, ishaq bin rohawaih dan yahya bin ma’in, ini adalah suatu kesalahan. Sesungguhnya i’tiqod mereka bersih dari tasybih dan ta’thil, cuma mereka tidak berkomentar tentang mutasyabihat, mereka mengatakan: kami beriman dan membenarkan disertai dengan keyakinan bahwa Alloh tidak ada yang serupa dengan Nya dan tidak ada sesuatu pun yang menyamai Nya. Sudah maklum bahwa keyakinan seperti ini jauh sekali dari tasybih.
     Asy-syahrostani dan al-fakhrur rozi adalah para imam ahli kalam bahkan ar-rozi merupakan pembesar di antara mereka, mereka dari golongan asya’iroh yaitu pengikut abul hasan al-asy’ari. Sebagaimana yang sudah diketahui, orang-orang asya’iroh berbeda pendapat tentang sifat-sifat mutasyabihat, diantara mereka adalah ahli kalam yang menta’wil sifat-sifat tersebut, mereka menyebut sifat-sifat ini dengan sifat khobariyyah dan menyebut faham seperti ini adalah madzhab kholaf. Ini adalah pendapat yang masyhur diantara mereka, mereka adalah abul ma’ali al-juwaini, al-ghozali, ar-rozi, ibnu faurok dan lainnya, bahkan ada diantara generasi akhir mereka yang meniadakannya. Pendapat kedua adalah mereka menetapkan sifat-sifat tersebut sebagaimana adanya dan tidak menta’wilkannya sebagaimana yang difahami oleh para ahli hadits dan imam-imam salaf, mereka yang berfaham seperti ini adalah orang-orang terdahulu dari asya’iroh seperti al-baqilani, abu bakr bin ath-thoyyib, abulhasan ath-thobari dan ibnu mujahid al-bahili, termasuk al-asy’ari sendiri dalam beberapa kitabnya seperti al-ibanah, al-maqolatul islamiyyin dan risalatun ila ahlits tsighor, bahkan diantara mereka ada.yang condong kepada madzhab salaf secara keseluruhan seperti abu abdillah bin khofif, abu bakr al-isma’ili, abul qosim al-lalika’i, abu utsman ash-shobuni, al-khotibul baghdadi dan lain-lainnya.
     Sedang mereka yang menuduh ahmad bin hambal dan para shohabatnya, yaitu orang-orang mu’tazilah dan jahmiyyah, mu’tazilah menta’wil sifat-sifat khobariyyah tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian asya’iroh, ada yang mengatakan mereka adalah ahlut ta’thil atau yang meniadakan sifat-sifat tersebut. Sedang jahmiyah telah meniadakan sifat-sifat tersebut bahkan meniadakan seluruh sifat-sifat bagi Alloh, mereka beranggapan bahwa menetapkan sifat berarti telah menyerupakan Alloh dengan makhluq-makhluqNya, orang-orang jahmiyyah mengambil faham ini dari al-ja’d bin dirham, al-ja’d dari aban bin sam’an, aban dari tholut dan tholut dari pamannya yaitu labid bin al-a’shom seorang yahudi yang pernah menyihir Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Faham ini adalah bathil dan mereka kufur karena menolak nash-nash al-qur’an dan sunnah.
     Demikian yang bisa kami sampaikan, tiada kata yang lebih bijak untuk menutup tulisan ini selain sebuah nasehat ilahyyah dan nabawyyah,
قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ ﴾. الحجرات: ١١
وقال: ﴿ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا ﴾. الأحزاب: ٥۸
وروي عن عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر. متفق عليه
وعن أبي ذر رضي الله عنه، أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: لا يرمي رجل رجلا بالفسوق ولا يرميه بالكفر، إلا ارتدت عليه إن لم يكن صاحبه كذلك. متفق عليه
وقال تعالى: ﴿ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾. الصافات: ١۸۰-١۸۲