Pada postingan
sebelumnya telah kami sampaikan tentang hukum seputar selamatan orang meninggal, kemudian pada postingan kali ini insyaAlloh akan kami sampaikan beberapa bantahan
atau jawaban atas beberapa syubhat seputar hal tersebut, apakah itu dari pendapat sebagian 'ulama, dalam hal ini dari sebagian ashhab/madzhab syafi'i, juga dari segi pengambilan dalil-dalilnya, sehingga membuat bingung para tholibul 'ilm, yang sebelumnya telah taslim dan dapat memahami sebagaimana pada tulisan sebelumnya, dan itulah karena telah membudayanya maka, ketika ada kritikan, malah semakin jauh mereka mencari dalil-dalil penguatnya, yang malah membuat mereka tidak jelas arahnya, umpamanya yang dulunya dianggap hanya antara bid'ah hasanah dan qobihah, sekarang malah membuat dalil bahwa suatu perkara tersebut adalah sunnah, tentang bantahan-bantahan kami tentang hukum seputar selamatan tersebut, kita akan mengkajinya bersama-sama, semoga tulisan ini nanti bisa diambil faidahnya, dan menjadi petunjuk untuk lebih menguatkan keilmuan kita.
Ahli mayit boleh membuat makanan sebagai sedekah mayit
dengan syarat ?
Selain yang kami
sebutkan sebelumnya, sebagian ‘ulama memperbolehkan ahli mayit membuat makanan
untuk disedekahkan kepada si mayit dengan cara dibagikan dan tanpa
ber-kumpul-kumpul, diantara mereka yang menjelaskannya adalah as-suyuthi dan
ibnu hajar alhaitami dalam fatawa-nya. Dasar mereka adalah riwayat dari seorang
tabi’in yaitu thowus bin kaisan al-yamani yang mengatakan:
إن
الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mati itu difitnah dalam
kuburnya selama tujuh hari, maka para shahabat sangat menyukai untuk memberi
makan mereka pada hari-hari tersebut.
Dikeluarkan oleh ahmad dalam az-zuhud dan abu nu’aim dalam al-hilyah.
Sedang maksud dari fitnah kubur menurut ‘ulama adalah pertanyaan dua malaikat, munkar
dan nakir.
Alhaitami mengatakan dalam fatawa-nya: Bahwa kebaikan membuat
makanan itu terbilang banyak, dan manfa’atnya bagi si mayit sangat tinggi,
karena membuat makanan untuk mayit merupakan sedekah dan itu dianjurkan secara
kesepakatan ‘ulama.
Dan as-suyuthi mengatakan dalam risalah “thulu’uts tsuroyya”
sebagai komentar atas ucapan thowus diatas: Membuat makanan disyari’atkan
karena terkadang seorang mayit mempunyai dosa-dosa yang membutuhkan sesuatu
sebagai peleburnya seperti shodaqoh dan lainnya, shodaqoh baginya bisa menjadi
penolong untuk meringankan dosa-dosa tersebut, bisa menenangkannya dari
pertanyaan yang menakutkan, sulitnya menghadapi perkataan dua malaikat,
kasarnya dan bentakannya.
Kemudian beliau menjelaskan: bahwa kesunnahan membuat makanan
selama tiga hari telah diberitakan kepadaku kalau hal tersebut tetap dilakukan
sampai sekarang di makkah dan madinah. Demikian penjelasan beliau, kemudian
beliau mengkaitkan dengan riwayat sebelumnya, beliau mengatakan: Maka
realitasnya bahwa hal tersebut tidak ditinggalkan dari masa shohabat sampai
sekarang, orang-orang kini tersebut mengambilnya dari orang-orang dahulu bahkan
sampai dari generasi yang pertama.
Akan tetapi pembolehan
tersebut, mereka mensyaratkan harus secara dibagikan tanpa disertai
kumpul-kumpul di kediaman keluarga mayit, sebagaimana dijelaskan oleh assuyuthi
dalam syarh sunan ibnu majah, beliau mengatakan dalam “addurun natsir”
ketika mengomentari hadits riwayat abdulloh bin ja’far: Persoalan yang ada
sekarang dan munkar yang tidak dikenal dalam sunnah, diambil penjelasan dari
hadits ini, wallohu a’lam. Beliau berkata lagi: Persoalan tersebut,
keberadaannya diawal kali diatas jalan sunnah, kemudian menjadi hal baru dalam
islam dimana ia menjadi alat membanggakan diri dan kesombongan sebagaimana yang
telah menjadi kebiasaan di masa kita sekarang karena orang-orang berkumpul
dirumah keluarga yang meninggal, kemudian kerabatnya membuatkan makanan yang
tidak bisa dipungkiri akan memberatkan, maka inilah penyebab persoalan ini menjadi
bid’ah yang tercela.
Pendapat ini telah dijadikan keputusan perkumpulan ‘ulama jam’iyyah
nahdlatul ‘ulama di indonesia dalam mu’tamar-nya yang pertama, yang keputusan
tersebut berbunyi: Menyediakan makanan pada hari wafat, atau hari ketiga, atau
hari ke tujuh, itu hukumnya makruh, (yaitu) apabila harus dengan cara berkumpul
bersama-sama dan pada hari-hari tertentu.
Penjelasan atas hal tersebut
Benar apa yang
disampaikan oleh assuyuthi dan alhaitami bahwa sedekah atas mayit sangat
dianjurkan, dan insyaAlloh pahalanya bisa sampai kepada-nya, dengan juga tanpa
mengurangi sedikit pun pahala bagi yang memberi sedekah.
روي
عن عائشة، أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي افتلتت
نفسها ولم توص، وأظنها لو تكلمت تصدقت، أفلها أجر، إن تصدقت عنها؟ قال: نعم.
رواه البخاري ومسلم
Artinya: Telah diriwayatkan dari ‘aisyah, bahwa seorang laki-laki
telah datang menemui Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, kemudian
bertanya: Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku telah meninggal secara mendadak
dan belum sempat berwasiat, dan aku mengira kalaulah beliau bisa berbicara
sungguh dia akan bersedekah, lantas apakah beliau akan mendapat pahala, jika
aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: ya. HR. albukhori Muslim
وعن
سعد بن عبادة، أنه سئل النبي صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله، إن أمي ماتت، أفأتصدق
عنها؟ قال: نعم، قال: فأي الصدقة أفضل؟ قال: سقي الماء. رواه أبو داود
والنسائي وابن ماجة بإسناد حسن
Artinya: Dan dari sa’ad bin ‘ubadah, bahwasanya dia telah bertanya
kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: Wahai Rosulallah, sesungguhnya
ibuku telah meninggal, apakah aku boleh menyedekahinya? Beliau menjawab: ya,
dia bertanya lagi: kemudian sodaqoh mana yang lebih utama? Jawab Beliau lagi:
memberi minum. HR. abu dawud, annasa’i dan ibnu majah dengan sanad hasan.
Alhasan albashri, yang merupakan diantara perowi-nya, mengatakan:
Jadi karena hal itulah sebab keberadaan tempat minum keluarga sa’ad di madinah.
وعن
أبي هريرة، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة: صدقة
جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له. رواه مسلم
Artinya: Dan (diriwayatkan) dari abi huroiroh, bahwa Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda: Ketika seorang manusia itu meninggal, maka
terputuslah amalnya dari dirinya, kecuali atas tiga: shodaqoh yang mengalir,
atau ilmu yang diambil manfa’atnya, atau seorang anak sholeh yang mendo’akannya.
HR. Muslim
Ini merupakan kesepakatan kesemua ‘ulama dan tanpa khilaf.
InsyaAlloh pembahasan yang lebih luas tentang permasalahan ini akan kami tulis
pada bagian tersendiri.
Pada hadits sa’ad diatas
disebutkan bahwa sebaik-baiknya sedekah adalah memberi minum, juga pada hadits
yang lain disebutkan bahwa sebaik-baik sedekah adalah memberi makan, keduanya
adalah sama dan merupakan sedekah yang paling utama karena hal tersebut merupakan
‘amal-‘amal yang banyak manfa’atnya dan berkaitan langsung dengan orang lain.
وروي
عن عبد الله بن عمرو: أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، أي الإسلام خير؟
قال: تطعم الطعام، وتقرأ السلام على من عرفت، ومن لم تعرف. رواه البخاري ومسلم
Artinya: Dan telah diriwayatkan dari abdillah bin ‘amrin: Bahwa
ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulalloh shollallohu ‘alaihi
wasallam, islam mana yang lebih baik? Beliau menjawab: memberi makan dan
membacakan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.
HR. Bukhori/Muslim
Akan tetapi dari kesemua
itu, tentang pengqoyyidan assuyuthi yang supaya dilakukan selama tujuh dari
kematian mayit adalah kurang tepat dan menyelisihi penjelasan sebelumnya,
karena ahli mayit yang membuat makanan kepada orang-orang setelah sepeninggal
mayit akan memberatkan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya,
termasuk nukilan kami dari assuyuthi dan al-haitami sendiri maupun yang
lainnya, bahkan muhammad nawawi albantani, sebagaimana yang beliau nukil dalam
kitabnya “nihayatuz zain syarh qurrotul ‘ain” dari fatwa assayyid ahmad dahlan,
mengatakan: Bersedekah atas mayit dengan bentuk yang syar’i sangat ditekankan,
dan jangan hanya membatasi dalam tujuh hari, atau lebih, atau kurang.
Tentang bentuk sedekah yang syar’i, para ashhab menjelaskan yaitu
dari segi yang mensedekahkan yaitu dari ahli waris maupun orang lain, juga
bentuk sedekah itu sendiri yaitu seperti mewakafkan sesuatu, membangun masjid,
membuat tempat minuman umum dan lainnya. Dan diantara bentuk yang tidak syar’i,
sebagaimana yang beliau katakan kemudian dan telah kami nukilkan sebelumnya, yaitu
dengan cara ahli mayit membuat makanan setelah penguburan. Sedang nukilan
beliau dari fatwa assayyid dahlan yang mengatakan bahwa membatasi bersedekah
kepada mayyit pada sebagian hari tertentu adalah merupakan adat kebiasaan
semata. Juga nukilan beliau dari gurunya yaitu yusuf assumbalawini assundawi, yaitu
seperti kebiasaan orang bersedekah dihari ketiga setelah kematiannya, pada hari
ketujuh, pada genap hari ke dua puluh, ke empat puluh dan setelah itu dilakukan
tiap putaran tahun (haulan) dari hari kematiannya. Kami katakan: Ini merupakan
rangkaian perkataan beliau, dan tidak menyelisihi apa yang telah kami sebutkan
dari beliau maupun ‘ulama lain, karena ini semata-mata hanya berkaitan tentang
sedekah secara umum, dengan bentuk yang syar’i, tanpa ahli mayit membuat
makanan dan berkumpul-kumpul setelah penguburan, wallohu a’lam.
Jawaban atas dalil
Tentang
dalil mereka yang merujuk kepada perkataan thowus, jawaban kami yaitu bahwa
kami tidak mendapati dari para ashhab syafi’i yang qoul-nya mu’tamad (diikuti
pendapatnya) maupun mayoritas ‘ulama lain yang menyebut apalagi berhujjah
dengan perkataan thowus ini, setidaknya ada dua alasan kenapa ia tidak layak
dijadikan hujjah.
Sebagaimana yang telah
kami sebutkan, bahwa riwayat dari thowus tersebut dikeluarkan oleh ahmad dalam
az-zuhud dan abu nu’aim dalam al-hilyah, dari hasyim bin al-qosim dari
al-asyja’i dari sufyan ats-tsauri dari thowus, semua perowi ini tsiqqoh atau
terpercaya, akan tetapi sanad antara sufyan dan thowus terputus, karena sufyan
tidak pernah mendengar langsung dan meriwayatkan dari thowus, ini diakui
sendiri oleh as-suyuthi dengan mengatakan: Kebanyakan sufyan meriwayatkan dari
thowus dengan perantara. Dan beliau hanya meriwayatkan dari anak thowus yang
bernama abdulloh. Para ahli sejarah sepakat bahwa sufyan lahir pada tahun 96, dan
mayoritas dari mereka mengatakan bahwa thowus meninggal pada tahun 106, ibnu
syaudzab mengatakan tahun 100, ibnu hibban mengatakan tahun 101, al-haitsam dan
abu nu’aim mengatakan tahun 110, dan ini yang diikuti oleh assuyuthi, akan
tetapi menurut annawawi dalam attaqrib bahwa yang masyhur adalah pendapat yang
pertama, handzolah mengatakan: thowus meninggal setelah mujahid dengan jarak
dua tahun. Mujahid meninggal tahun 104. Dan saif bin sulaiman mengatakan:
thowus meninggal di makkah, sehari sebelum hari tarwiyyah, disaat itu hisyam
bin abdulmalik sedang melaksanakan ibadah haji dan dia ikut mensholatinya.
Sedang riwayat alhaitsam yang mengatakan tahun 110 dan diikuti assuyuthi, telah
dibantah oleh adzdzahabi dengan mengatakan bahwa riwayat ini syadz/lemah. Yang
benar riwayat darinya adalah tahun 106. Oleh karena itu atas keterputusan sanad
ini maka riwayat ini dianggap lemah.
Kemudian, sebagaimana diketahui bahwa thowus ini adalah seorang
pembesar fuqoha’ tabi’in, periwayatan dari seorang tabi’in adalah marfu’ mursal
dan imam asy-syafi’i serta mayoritas ahli hadits dan ushul mendho’ifkannya dan
tidak berhujjah dengannya kecuali ada penguatnya dari tabi’in lain maupun dari
para shahabat.
Annawawi mengatakan dalam muqoddimah majmu’: hadits
mursal, tidak dijadikan hujjah, itu menurut kami (ashhab syafi’i), mayoritas
ahli hadits, kebanyakan ahli fiqih, mayoritas ahli ushul fiqih dan ahli kalam.
Albaihaqi dalam manaqib syafi’i menukil nash beliau:
Asy-syafi’i menerima riwayat-riwayat yang mursal dari pembesar tabi’in ketika
ada penguatnya, kalau tidak maka tidak diterima meskipun itu dari ibnul
musayyib atau lainnya.
Diantara syarat-syarat perkataan atau pendapat seorang
tabi’in dapat diterima, yaitu sebagaimana yang dijelaskan asy-syafi’i’ dalam
arrisalah-nya: perowinya seorang pembesar tabi’in, perkataannya bisa diterima
dan ada orang lain yang mengatakan sama yang perkataan dia tersebut juga bisa
diterima, atau redaksinya mencocoki perkataan sebagian shahabat atau fatwa
sebagian fuqoha’.
Sedang
disini, as-suyuthi menghadirkan dua atsar yang oleh beliau dijadikan sebagai
syawahid atau penguat terhadap riwayat thowus, yaitu riwayat ubaid bin ‘umair
dan mujahid bin jabr;
روي
عن عبيد بن عمير، قال: يفتن رجلان مؤمن ومنافق، فأما المؤمن فيفتن سبعا، وأما
المنافق فيفتن أربعين صباحا،
وأما الكافر فلا يسأل عن محمد ولا يعرفه.
Artinya: Diriwayatkan dari ‘ubaid
bin ‘umair, dia berkata: Dua orang akan terfitnah, yaitu orang mu’min dan
munafiq, adapun orang mu’min akan terfitnah selama tujuh hari, sedang orang
munafiq akan terfitnah selama empat puluh hari, adapun orang kafir maka tidak
akan ditanya tentang muhammad, karena dia tidak mengenal-Nya.
وعن
مجاهد، قال: إن الموتى كانوا يفتنون في قبورهم سبعاً، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم
تلك الأيام.
Artinya:
dan dari mujahid, dia berkata: Sesungguhnya orang yang mati akan akan
terfitnah dalam kubur mereka selama tujuh hari, maka mereka (para shahabat) menganjurkan untuk memberi makan mereka pada hari-hari tersebut.
Riwayat pertama
dikeluarkan oleh abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya dari ibnu juraij, dari abdulloh
bin ‘umar, riwayat ini lemah, karena sanadnya terputus, ibnu juraij tidak
pernah meriwayatkan dari ibnu ‘umar, ibnu juraij lahir pada tahun 80, sedang ibnu
‘umar telah meninggal pada tahun 74, ada yang mengatakan 73 dan ada juga yang
mengatakan 78.
Yang
lebih baik adalah apa yang diutarakan oleh ibnu ‘abdul barr dalam
at-tamhid-nya, beliau menyebutkan riwayat ini dari ibnu juraij, dari alharits
bin abil harits, dari ‘ubaid bin ‘umair. Sehingga dengan bersandarkan riwayat
ini, ibnu ‘abdul barr berpendapat bahwa orang kafir tidak akan ditanya dalam
kuburnya dan akan langsung di siksa, pendapat ini diikuti oleh assuyuthi. Akan
tetapi alharits dalam riwayat ini adalah orang yang majhul atau tidak diketahui
siapa dia sebenarnya, tidak mungkin dia adalah alharits bin abil harits al-azdi
yang seorang nashibi dan pernah meriwayatkan dari ‘ali bin abi tholib, yang
paling mungkin dia adalah alharits bin abdurrohman bin abi dzubab, karena ibnu
juraij pernah meriwayatkan dari-nya dalam masalah zakat sebagaimana yang
dikeluarkan oleh muslim dalam shohih-nya. Kalaulah ini benar maka derajat riwayat
ini adalah hasan, ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘asqolani dalam
“at-taqrib” tentang alharits ini: dia terpercaya akan tetapi otak-nya sedikit
goncang, (maksudnya lemah hafalannya dan banyak lupa). Ini karena meskipun
alharits ini merupakan diantara perowi (rijal) dalam shohih muslim, akan
tetapi, sebagaimana yang dikatakan oleh abu hatim bahwa ad-darowurdi pernah meriwayatkan
hadits-hadits munkar darinya. Dan abu zur’ah ketika ditanya tentang alharits
ini, beliau menjawab: tidak mengapa.
Kalau
kita mengikuti ke-hasan-an riwayat ini, belum tentu kita bisa menjadikannya
sebagai penguat atas riwayat thowus, karena dalam lafadz riwayat tersebut tidak
ada penyebutan tentang dianjurkannya membuatkan makanan untuk orang yang
meninggal, kecuali dalam mushonnaf-nya abdurrozzaq itu merupakan perkataan ibnu
juraij sendiri, ibnu juraij mengatakan: aku katakan: sungguh dikatakan dalam hal itu, kami tidak lihat
orang yang lebih lengah dibanding mereka yang kehilangan seseorang selama tujuh
hari tanpa memberikan shodaqoh kepadanya.
Yang bersesuaian adalah pada riwayat kedua,
yaitu dari mujahid, akan tetapi riwayat ini tidak ada asalnya, karena yang
mengutarakannya tidak menemukan sanadnya, dari sini maka ini juga tidak bisa
menjadi penguat atas perkataan thowus. Bahkan dari kesemua riwayat diatas,
termasuk riwayat thowus, bertentangan dengan riwayat-riwayat yang shohih, dari
segi aqidah maupun fiqih sendiri.
Yang shohih dalam masalah aqidah yaitu tidak ada penjelasan tentang
berapa lama pertanyaan malaikat, yang pastinya hal tersebut dilakukan hanya
sekali yaitu setelah mayit dikuburkan.
عن
أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا قبر الميت - أو قال: أحدكم
- أتاه ملكان أسودان أزرقان، يقال لأحدهما: المنكر، وللآخر: النكير، فيقولان: ما كنت
تقول في هذا الرجل؟ فيقول: ما كان يقول: هو عبد الله ورسوله، أشهد أن لا إله إلا الله،
وأن محمدا عبده ورسوله، فيقولان: قد كنا نعلم أنك تقول هذا، ثم يفسح له في قبره سبعون
ذراعا في سبعين، ثم ينور له فيه، ثم يقال له، نم، فيقول: أرجع إلى أهلي فأخبرهم، فيقولان:
نم كنومة العروس الذي لا يوقظه إلا أحب أهله إليه، حتى يبعثه الله من مضجعه ذلك، وإن
كان منافقا قال: سمعت الناس يقولون، فقلت مثله، لا أدري، فيقولان: قد كنا نعلم أنك
تقول ذلك، فيقال للأرض: التئمي عليه، فتلتئم عليه، فتختلف فيها أضلاعه، فلا يزال فيها
معذبا حتى يبعثه الله من مضجعه ذلك. رواه الترمذي وقال: حديث حسن غريب.
Artinya:
Dari abi huroiroh, dia berkata: telah bersabda Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam: Ketika seorang mayit telah dikuburkan – atau dia
berkata: salah seorang dari kalian – maka dua malaikat yang hitam dan hijau
mendatanginya, salah satu diantara mereka disebut: munkar, dan yang lainnya:
nakir, lalu keduanya berkata: apa yang engkau katakan tentang laki-laki ini? Kemudian
dia mengatakan sebagaimana yang biasa dia katakan, yaitu: dia adalah hamba
Alloh dan utusan-Nya, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alloh, dan bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, maka keduanya berkata kepadanya:
sungguh kami mengetahui bahwa engkau memang mengatakan itu, kemudian dilapangkanlah
untuknya di kuburannya seluas tujuh puluh hasta kali tujuh puluh hasta, lalu
diterangilah dia didalamnya, lalu dikatakan kepadanya: tidurlah, kemudian dia
berkata: kembalilah engkau ke keluargaku lantas khabarkanlah mereka tentangku,
kemudian mereka berdua berkata: tidurlah seperti tidurnya pengantin yang
tidaklah membangunkannya kecuali keluarga yang paling dicintainya, sampai Alloh
membangkitkannya dari tempat pembaringannya tersebut. Dan jika dia seorang
munafiq, dia berkata: aku telah mendengar orang-orang mengatakan, maka aku
mengatakan pula yang serupa, aku tidak tahu, kemudian mereka berdua berkata:
sungguh kami telah mengetahui bahwa engkau mengatakan hal tersebut, lalu
dikatakan kepada bumi: himpitlah dia, sehingga ia menghimpitnya, sehingga tulang-tulang
rusuknya bercerai-berai didalamnya, tidak habis-habisnya ia terus disiksa disana
hingga Alloh membangkitkannya dari tempat pembaringannya tersebut. HR. Attirmidzi, dia berkata: hadits hasan ghorib.
وعن البراء بن عازب، قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه
وسلم في جنازة رجل من الأنصار، فانتهينا إلى القبر ولما يلحد، فجلس رسول الله صلى الله
عليه وسلم وجلسنا حوله كأنما على رءوسنا الطير، وفي يده عود ينكت به في الأرض، فرفع
رأسه، فقال: استعيذوا بالله من عذاب القبر مرتين، أو ثلاثا، زاد في حديث جرير: هاهنا،
وقال: وإنه ليسمع خفق نعالهم إذا ولوا مدبرين حين يقال له: يا هذا، من ربك وما دينك
ومن نبيك؟ قال هناد: قال: ويأتيه ملكان فيجلسانه فيقولان له: من ربك؟ فيقول: ربي الله،
فيقولان له: ما دينك؟ فيقول: ديني الإسلام، فيقولان له: ما هذا الرجل الذي بعث فيكم؟
قال: فيقول: هو رسول الله صلى الله عليه وسلم، فيقولان:
وما يدريك؟ فيقول: قرأت كتاب الله فآمنت به وصدقت، زاد في حديث جرير: فذلك قول الله
عز وجل: ﴿يثبت الله الذين آمنوا﴾ - ثم اتفقا - قال: فينادي مناد من السماء: أن قد صدق
عبدي، فأفرشوه من الجنة، وافتحوا له بابا إلى الجنة، وألبسوه من الجنة، قال: فيأتيه
من روحها وطيبها، قال: ويفتح له فيها مد بصره، قال: وإن الكافر، فذكر موته قال: وتعاد
روحه في جسده، ويأتيه ملكان فيجلسانه فيقولان: له من ربك؟ فيقول: هاه هاه هاه، لا أدري،
فيقولان له: ما دينك؟ فيقول: هاه هاه، لا أدري، فيقولان: ما هذا الرجل الذي بعث فيكم؟
فيقول: هاه هاه، لا أدري، فينادي مناد من السماء: أن كذب، فأفرشوه من النار، وألبسوه
من النار، وافتحوا له بابا إلى النار، قال: فيأتيه من حرها وسمومها، قال: ويضيق عليه
قبره حتى تختلف فيه أضلاعه، زاد في حديث جرير قال: ثم يقيض له أعمى أبكم معه مرزبة
من حديد لو ضرب بها جبل لصار ترابا، قال: فيضربه بها ضربة يسمعها ما بين المشرق والمغرب
إلا الثقلين فيصير ترابا، قال: ثم تعاد فيه الروح. رواه أبو داود والترمذي، وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح.
Artinya: Dan dari albarro’ bin ‘azib, dia berkata: Kami keluar bersama Rosululloh
shollallohu 'alaihi wasallam mengantar jenazah seorang dari anshor, kemudian
kami pun sampai di pekuburan.(dan waktu itu) sedang dibuatkan liang lahat. Lalu
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam duduk dan kami pun duduk di sekitarnya
seakan-akan di atas kepala kami ada burung, dan ditangan beliau ada kayu yang beliau
pukul-pukulkan ke tanah, lalu Beliau mengangkat kepalanya seraya mengatakan :
berlindunglah kalian kepada Allah dari adzab kubur, dua atau tiga kali. Ada tambahan dalam hadits jarir: disini, dan Beliau bersabda: dan
sungguh dia mendengar suara sandal-sandal ketika mereka berpaling untuk
pergi,seketika itu dikatakan kepadanya: hai kamu, siapa tuhanmu, apa agamamu
dan siapa nabimu? Hanad (salah seorang perowi) berkata: Beliau bersabda: dan datanglah kepadanya dua malaikat dan
mendudukkannya. Mereka berdua pun mengatakan: siapa tuhanmu? dia menjawab :
tuhanku adalah Alloh, lalu mereka bertanya lagi: apa agamamu? Dia menjawab: agamaku
adalah islam, mereka kembali bertanya kepadanya: siapa orang ini yang diutus
pada kalian? Beliau bersabda: lalu dia menjawab: dia adalah utusan Alloh
shollallohu 'alaihi wasallam, mereka bertanya: dari mana kamu tahu? Dia
menjawab: aku membaca kitab Alloh, lalu aku beriman dengannya dan aku
membenarkannya. Ada tambahan dalam hadits jarir: maka itulah firman Alloh ‘azza
wa jall: ( Alloh menetapkan orang-orang yang beriman ) – kemudian mereka
bersepakat -, Beliau bersabda: kemudian ada penyeru dari langit: sungguh benar
hambaku, maka bentangkanlah surge untuknya, dan bukakanlah pintu untuknya ke
surga, dan pakaikanlah (pakaian) dari surga, Beliau bersabda: kemudian
didatangkan baud an wanginya kepadanya, Beliau bersabda: dan dibukakan untuknya
disana sepanjang pandangannya. Beliau
bersabda: dan sesungguhnya orang kafir, kemudian Beliau menyebutkan tentang
kematiannya dengan mengatakan: ruh-nya dikembalikan ke dalam jasadnya, dan dua
malaikat mendatanginya, kemudian mendudukkannya seraya berkata: siapa tuhan mu?
Hah, hah, hah, aku tidak tahu, kemudian mereka bertanya kepadanya: apa agamamu?
Dia menjawab: hah, hah, aku tidak tahu, mereka bertanya: siapa laki-laki ini
yang diutus kepadamu? Dia menjawab: hah, hah, aku tidak tahu, kemudian ada
seruan dari langit: dia bohong, maka bentangkanlah tempatnya dari neraka dan
pakaikanlah untuknya, dan bukakanlah untuknya pintu ke neraka, Beliau bersabda:
kemudian didatangkan kepadanya, panasnya neraka beserta racun-racunnya, Beliau
bersabda: dan kuburnya dihimpitkan kepadanya hingga tidak beraturan tulang
belulang-nya. Ada tambahan dalam hadits jarir, Beliau bersabda: kemudian diutus
kepadanya seorang yang buta dan tuli dengan membawa alat pukul dari besi yang
seandainya dipukulkan ke gunung maka ia menjadi debu, Beliau bersabda: setelah itu dia dipukul sehingga dia berteriak
dengan teriakan yang didengar oleh manusia dan jin hingga dia menjadi debu,
Beliau bersabda: kemudian ruhnya dikembalikan ke dalamnya. HR. Abu dawud dan atTirmidzi, attirmidzi berkata: hadits
ini hasan shohih.
وعن
أنس بن مالك رضي الله عنه، أنه حدثهم: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن
العبد إذا وضع في قبره وتولى عنه أصحابه، وإنه ليسمع قرع نعالهم، أتاه ملكان فيقعدانه،
فيقولان: ما كنت تقول في هذا الرجل لمحمد صلى الله عليه وسلم، فأما المؤمن، فيقول:
أشهد أنه عبد الله ورسوله، فيقال له: انظر إلى مقعدك من النار قد أبدلك الله به مقعدا
من الجنة، فيراهما جميعا، وأما المنافق والكافر فيقال له: ما كنت تقول في هذا الرجل؟
فيقول: لا أدري كنت أقول ما يقول الناس، فيقال: لا دريت ولا تليت، ويضرب بمطارق من
حديد ضربة، فيصيح صيحة يسمعها من يليه غير الثقلين. رواه البخاري ومسلم
Artinya:
Dan dari anas bin malik rodhiyallohu ‘anh, dia menceritakan kepada
mereka bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya ketika seorang hamba diletakkan ke dalam kuburnya, dan
para shahabatnya telah berpaling meninggalkannya, dan sungguh dia mendengar
bunyi sandal mereka, maka datanglah dua malaikat kemudian duduk disampingnya
sambil berkata: apa yang akan engkau katakan tentang laki-laki ini atas
muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam? Apapun orang mu’min akan menjawab: aku
bersaksi bahwa Dia adalah hamba Alloh dan Rosul-nya, kemudian dikatakan
kepadanya: lihatlah tempatmu dineraka, sungguh Alloh telah menggantikannya
untukmu tempat di surga, lantas dia diperlihatkan keduanya. Adapun orang
munafik dan kafir, dikatakan kepada mereka: apa yang engkau katakana tentang
laki-laki ini? Dia akan menjawab: aku tidak tahu, aku mengatakan sebagaimana
apa yang dikatakan orang-orang, kemudian dikatakan (kepadanya): kamu tidak tahu
dan tidak membaca, kemudian dia dipukul dengan palu dari besi sekali, sehingga
dia berteriak dengan teriakan yang bisa didengar oleh siapa yang ada
disekitarnya kecuali manusia dan jin. Muttafaq ‘alaih.
Dan
masih banyak riwayat lainnya hingga derajatnya mutawattir. Ibnu ‘abdul barr
mengatakan dalam attamhid-nya: Semua atsar-atsar yang marfu’, dalam masalah ini
menunjukkan bahwa fitnah tersebut hanya sekali saja, wallohu a’lam.
Sedang dalam syarhush shudur,
assuyuthi mengatakan: Sungguh telah sampai dalam suatu riwayat bahwa seorang
yang meninggal akan di tanya pada satu majlis sebanyak tiga kali, pada riwayat
yang lain tidak disebutkan maka ini bisa mengandung yang tiga tersebut, atau
berbeda tergantung masing-masing orang, telah kami sebutkan tentang riwayat
thowus bahwa orang-orang yang meninggal akan diuji selama tujuh hari.
Alhaitami
mengatakan dalam fatawa-nya: Tidaklah penyebutan tujuh hari tersebut
bertentangan dengan hadits-hadits shohih, karena hadits-hadits shohih tersebut
bersifat muthlaq, dan disini riwayat thowus tersebut merupakan tambahan atas
hadits-hadits tersebut.
Kami
katakan: Tidaklah disini membahas tentang dalil yang muthlaq atau muqoyyad,
bersifat umum atau khusus, karena disini membahas tentang apakah riwayat thowus
tersebut bisa dijadikan hujjah ataukah tidak? dan ternyata riwayat ini tidak
ada penguatnya, sedang sebuah riwayat yang disampaikan assuyuthi tentang
pertanyaan tiga kali adalah maksudnya satu kali dalam majlis tersebut, wallohu
a’lam.
Juga
tentang pertanyaan kepada orang kafir, hadits diatas telah menjelaskan bahwa
dia juga akan ditanya, inilah keyakinan ahlussunnah, albaihaqi mengatakan dalam
“itsbatu ‘adzabil qubr”: Nabi almushthofa shollallohu ‘alaihi
wasallam telah mengabarkan bahwa semua orang mu’min dan kafir akan ditanya
dua malaikat (munkar dan nakir), kemudian orang mu’min akan diberi pahala dan
orang kafir akan disiksa.
Juga dalam masalah
fiqih, yang dimana ini merupakan poin dari pembahasan disini, telah
kami sebutkan bahwa para ‘ulama tidak berhujjah dengan perkataan thowus ini
untuk memperbolehkan keluarga mayit membuat makanan kemudian dihidangkan kepada
orang-orang, kalau ada yang berpendapat sebaliknya, maka yang diikuti (mu’tamad)
adalah yang tidak memperbolehkannya, wallohu a’lam.
Pendapat yang mu’tamad adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan
diawal pembahasan, para ahli tahqiq dari kalangan ashhab kita telah menjelaskan
bahwa pendapat yang mu’tamad adalah perkataan annawawi dan lainnya, dan
assuyuthi tidak termasuk didalamnya kecuali yang bersesuaian, sedang pendapat
alhaitami jika ada yang berbeda maka pendapatnya dalam attuhfah adalah yang
didahulukan baru yang lainnya, demikian yang dijelaskan oleh alkurdi dalam
fawa’idul makkiyyah dan para ‘ulama lainnya
Kemudian tentang penjelasan riwayat thowus
itu sendiri, selain riwayat tersebut, ibnu hajar al-‘asqolani dalam “almatholibul
‘aliyyah” menyebut riwayat lain yaitu dari shahabat ‘umar rodhiyallohu
‘anh, yang oleh sebagian orang juga dijadikan hujjah atas pembolehan
keluarga mayit membuatkan makanan;
وعن الأحنف بن قيس، قال: كنت أسمع عمر رضي الله عنه يقول: لا يدخل
أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس، فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رضي الله
عنه فأمر صهيبا رضي الله عنه أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر أن يجعل للناس طعاما فلما
رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه،
فجاء العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه فقال: يا أيها الناس قد مات الحديث.
أخرجه ابن سعد، وابن منيع، وأبو بكر فى الغيلانيات، وابن عساكر، وفيه علي بن زيد بن
جدعان وهو ضعيف.
وفي رواية: قد مات رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فأكلنا بعده وشربنا،
ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام، فمد يده ومد الناس
أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله.
وفي رواية: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا،
ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، وإنه لا بد من الأجل فكلوا من هذا الطعام، ثم مد
العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت قول عمر إنهم رؤوس الناس.
Artinya: Dan dari al-ahnaf bin qois, dia berkata: aku
pernah mendengar ‘umar rodhiyallohu ‘anh mengatakan: Tidaklah akan
masuk seorang dari suku quroisy pada suatu pintu melainkan seseorang akan masuk
bersamanya, maka aku tidak mengerti apa maksud ucapan beliau hingga ‘umar
rodhiyallohu ‘anh ditikam, kemudian beliau memerintahkan shuhaib untuk
mengimami orang-orang selama tiga hari, dan memerintahkan membuatkan makanan
untuk orang-orang, maka ketika mereka kembali dari mengurusi jenazah, mereka
sampai dan sungguh hidangan telah disiapkan, maka ia telah menahan orang-orang
dari kesedihan yang telah menimpa mereka, kemudian al-abbas bin abdul muthollib
datang lantas berkata: wahai manusia, sang pembawa berita telah meninggal.
Dikeluarkan oleh sa’ad, ibnu mani’, abu bakr dalam al-ghoilaniyyat dan ibnu
‘asakir, didalamnya terdapat ‘ali bin zaid bin jad’an, dan dia lemah.
Dalam salah satu riwayat: Sungguh Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam telah meninggal, kemudian kita makan minum
setelahnya, dan abu bakr telah meninggal, kemudian kita makan minum setelahnya,
wahai manusia! Makanlah makanan ini, kemudian beliau menjulurkan tangannya,
juga orang-orang menjulurkan tangan mereka, lantas mereka makan, (dari itu)
maka aku menjadi tahu akan maksud ucapan beliau.
Dan dalam salah satu riwayat lain lagi: Sungguh
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah meninggal, kemudian kita makan
minum setelahnya, dan abu bakr telah meninggal, kemudian kita makan minum
setelahnya, sesungguhnya hal itu merupakan suatu keharusan dari setiap
kematian, maka makanlah makanan ini, kemudian al-abbas menjulurkan tangannya
lantas makan dan orang-orang ikut pula menjulurkan tangan mereka lantas makan,
maka aku menjadi tahu tentang ucapan ‘umar, sesungguhnya mereka adalah para
pembesar.
Riwayat ‘umar ini juga disebutkan oleh ahmad al-bushiri
dalam “ittihaful hiyarotil mahroh”. Mereka menjelaskan bahwa maksud dari
riwayat tersebut adalah orang lain membuat makanan dan disampaikan ke keluarga mayit, dan bukan sebaliknya yaitu keluarga mayit membuat makanan
untuk orang-orang, kalaulah difahami seperti ini maka ini menyelisihi hadits
Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dan apa yang disepakati oleh para ahli
‘ilmu, juga dijelaskan tentang anjurab ber-ta’ziyyah bahwa ia tidak boleh
melebihi tiga hari, bahkan sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa syaikh
nawawi albantani telah mengisyaratkan akan bantahan beliau terhadap
pengqoyyidan bersedekah tersebut, wallohu a’lam.
Kemudian tentang assuyuthi yang membedakan ith’am/membuat makanan dengan
ijtima’/kumpul-kumpul, menurut beliau kalau membuat makanan dengan tanpa
disertai kumpul-kumpul maka tidak mengapa, disini perlu ada penelitian lebih
lanjut, karena kami dapati ada sebuah riwayat yang menyebutkan kata membuat
makanan secara tersendiri, yaitu dari abul bakhtari ath-tho’i, salah seorang
pembesar tabi’in, beliau mengatakan:
"الطعام على الميت من أمر الجاهلية، وبيتوتة المرأة عند أهل الميت
من أمر الجاهلية، والنياحة من أمر الجاهلية". رواه عبد الرزاق وابن أبي شيبة
في مصنفاهما بإسناد صحيح
Artinya: “Makanan atas mayit termasuk perkara
jahiliah, penyediaan makan malam oleh seorang wanita pada keluarga mayit
termasuk perkara jahiliah dan ratapan termasuk perkara jahiliah”. HR. abdurrozzaq dan ibnu abi syaibah dalam mushonnaf
mereka dengan sanad shohih.
Khusus untuk orang faqir
As-suyuthi dan
beberapa ‘ulama lain juga berpendapat bahwa larangan membuat makanan tersebut
kalau diberikan untuk orang kaya atau tetamu dan kalau untuk orang-orang faqir
maka tidak mengapa, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya. Beliau
mengatakan syarh sunan ibnu majah: Adapun pembuatan makanan dari ahli mayit, jika
keberadaannya tersebut untuk para fuqoro’ maka tidak mengapa, karena Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam pernah suatu ketika menerima undangan seorang
wanita yang dimana suaminya telah meninggal, sebagaimana dalam sunan abi dawud,
dan adapun kalau keberadaannya tersebut untuk orang-orang kaya dan para tamu
maka itu terlarang dan tercela, sebagaimana hadits riwayat ahmad dan ibnu majah
pada penjelasan setelah ini.
Hadits dalam sunan abi dawud tersebut adalah yang diriwayatkan dari
kulaib, insyaAllah kami akan menyebutkannya, sedang hadits ahmad dan ibnu majah
adalah riwayat dari jarir bin abdulloh yang telah kami sebutkan di awal
pembahasan.
Jawaban kami atas pendapat
assuyuthi diatas yang menyatakan bahwa ahli mayit diperbolehkan membuat makanan
yang disedekahkan hanya untuk orang faqir dan tidak lainnya, beliau berhujjah
dengan hadits riwayat kulaib;
عن
كليب، عن رجل من الأنصار، قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة،
فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر: أوسع من قبل رجليه،
أوسع من قبل رأسه، فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده، ثم وضع
القوم، فأكلوا، فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه، ثم قال:
أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها، فأرسلت المرأة، قالت: يا رسول الله، إني أرسلت إلى
البقيع يشتري لي شاة، فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة، أن أرسل إلي بها بثمنها،
فلم يوجد، فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أطعميه
الأسارى. رواه أبو داود بإسناد صحيح
Artinya: Dan dari kulaib, dari seorang laki-laki dari kaum anshor,
dia berkata: Suatu ketika kami keluar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam menuju suatu jenazah, kemudian kami melihat Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam diatas sebuah kuburan sambil memberikan pengarahan kepada
seorang penggali, lebarkan arah kakinya, lebarkan arah kepalanya. Kemudian
ketika Beliau kembali, menghadaplah seorang utusan wanita (istri mayit)
mengundang Beliau, kemudian Beliau datang dan dihidangkan makanan, kemudian
Beliau mengambilnya yang diikuti oleh yang lainnya, kemudian mereka makan.
Bapak-bapak kami memandangi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang sedang
mengunyah sesuap makanan dimulutnya, kemudian Beliau berkata: aku menemukan
daging kambing yang diambil dengan tanpa seizin pemiliknya?! Kemudian wanita
itu berkata: wahai Rosululloh, aku telah mengutus (seseorang) ke baqi’ untuk
membelikanku seekor kambing, akan tetapi tidak menemukan, kemudian aku mengutus
ke tetangga ku untuk membelikan kambing seharga kambing tersebut untuk
dikirimkan kepadaku, akan tetapi dia (tetap) tidak menemukan, kemudian aku
mengutus (nya) ke istri-nya, kemudian dia mengirimkannya kepada saya, kemudian
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam berkata: berikanlah makanan ini kepada
para tahanan perang. HR. Abu dawud dengan sanad shohih
Kata
“al-usaroo” dalam hadits diatas berarti tahanan perang, al’adzim abadi dalam
syarh sunan abu dawud mengatakan: Tahanan perang identik dengan orang faqir. Faqir
adalah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak kuasa untuk bekerja, maka
kemudian assuyuthi berpendapat seperti yang telah kami disebutkan, akan tetapi
tidak demikianlah maksudnya, wallohu a’lam, sebagai jawabannya, kami
katakan bahwa maksud dari tahanan perang disini adalah tahanan perang dari
kalangan orang-orang kafir, karena tahanan perang dimasa Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam adalah hanya orang-orang kafir, demikian sebagaimana yang
diriwayatkan dari ibnu ‘abbas, ibnu juraij, alhasan albashri dan qotadah, dan
ini adalah pendapat abu ‘ubaid dalam ghoribul hadits, al-khoththobi dalam
ishlahuhu gholatil muhadditsin, albaihaqi dalam asy-syu’abul iman, dan lainnya,
mereka mengatakan: Tidaklah keberadaan tahanan perang dimasa Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam melainkan hanya dari kalangan orang-orang musyrikin.
Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam
memerintahkannya untuk diberikan kepada mereka karena menjaga dari kerusakan
makanan tersebut dan keharusan untuk tetap membiayai makanan para tahanan, ini
sebagaimana yang dikatakan oleh kebanyakan ahli ilmu.
Al-mawardi mengatakan dalam al-hawi: (Hal tersebut
diberikan) karena yang berhak atas makanan tersebut tidak bisa menjaga
keutuhannya, maka kemudian Beliau memerintahkan hal tersebut, untuk menjaga
nominal (yang akan dikembalikan) kepada pemiliknya.
Al-baihaqi mengatakan dalam as-sunan-nya: Hal tersebut
dilakukan karena dikhawatirkan akan kerusakannya, sedang pemiliknya tidak ada,
maka Beliau berpandangan bahwa yang lebih baik adalah diberikan kepada para
tahanan, wallohu a’lam, kemudian pemiliknya supaya menanggungnya.
Pendapat ini dikuatkan oleh an-nawawi dalam majmu’-nya.
Bahkan lebih tegas lagi apa yang dikatakan oleh al-amir ash-shon’ani dalam
subulus salam: Hal tersebut dilakukan karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam tidak dihalalkan memakannya, dan tidak diperbolehkan bagi seorang
pun dari kaum muslimin untuk memakannya, akan tetapi diberikan kepada
orang-orang kafir yang menghalalkan bangkai.
Dari semua pemaparan diatas, tidak ada ada sama sekali
petunjuk yang bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh assuyuthi, bahkan
sebentar lagi akan kami sebutkan tentang pendapat syaikh isma’il zain yang
tidak membatasinya dengan hanya orang faqir.
Pendapat yang menyelisihi
Pendapat sebaliknya disampaikan oleh syaikh isma’il az-zain,
seorang ulama syafi’iyyah di makkah yang baru meninggal beberapa tahun kemarin,
beliau mengatakan dalam risalah beliau “rof’ul isykal wa ibtholul mugholah”:
Apa yang dilakukan keluarga mayit berupa pengadaan resepsi (kematian) dan
mengundang orang-orang menghadirinya untuk makan-makan maka hal tersebut
diperbolehkan. Beliau berdalil dengan hadits riwayat kulaib sebelumnya secara
muthlak dan tanpa membatasi pengertiannya hanya tertuju kepada orang faqir
sebagaimana yang dikatakan oleh assuyuthi.
Syaikh isma’il
mengatakan: Hal tersebut merupakan bagian dari ibadah untuk mendekat kepada
Alloh, adakalanya untuk tujuan mendapatkan upah dan pahala bagi seorang mayit,
hal tersebut telah disepakati merupakan ibadah yang utama yang bisa terkait
dengan mayit. Adakalanya untuk tujuan menghormat tamu, menutupi musibah dan
menjauhkan dari menampakkan kesedihan, hal tersebut juga merupakan dari ibadah
dan keta’atan yang diriho’i oleh Tuhan alam semesta, pelakunya akan diganjar
dengan pahala yang besar. Hal tersebut sama apakah dilakukan setelah penguburan
sebagaimana yang dilakukan istri seorang mayit yang disebutkan dalam hadits,
ataukah setelahnya.
Tentang riwayat abdulloh bin ja’far, syaikh berkomentar: Hadits
tersebut mengandung kekhususan hanya untuk keluarga ja’far.
Beliau juga mengatakan
atas bolehnya berkumpul-kumpul di keluarga mayit dengan berdalil hadits riwayat
‘Aisyah;
وعن
عائشة، زوج النبي صلى الله عليه وسلم: أنها كانت إذا مات الميت من أهلها، فاجتمع
لذلك النساء، ثم تفرقن إلا أهلها وخاصتها، أمرت ببرمة من تلبينة فطبخت، ثم صنع ثريد
فصبت التلبينة عليها، ثم قالت: كلن منها، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
التلبينة مجمة لفؤاد المريض، تذهب ببعض الحزن. رواه البخاري ومسلم
Artinya: Dan dari A’isyah, istri Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam:
Ketika ada salah seorang dari anggota keluarganya meninggal, maka para
wanita berkumpul kepadanya, kemudian mereka membubarkan diri kecuali hanya
tinggal keluarganya dan orang-orang tertentu, Beliau meminta satu wadah bubur
“talbinah” (lembut seperti susu/campuran tepung dan madu) untuk dimasak,
kemudian beliau membuat “tsarit” (roti campuran daging), lalu talbinah tersebut
dituangkan diatasnya, lantas beliau berkata (kepada keluarganya): makanlah
darinya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulalloh bersabda: talbinah itu
menentramkan hati orang yang sakit, menghilangkan sebagian kesedihan.
Muttafaq ‘alaih.
Tentang atsar jarir bin abdulloh, beliau berkomentar: Perkataan
tersebut mengandung jika disertai menampakkan kesedihan dan adanya kegalauan,
hal ini dikuatkan dengan perkataannya “من النياحة”, penyebutan kata
ratapan tersebut menunjukkan bahwa kumpul-kumpul yang dimaksud tersebut menjadi
tercela karena didalamnya bercampur dengan kesedihan, maka hal tersebut menjadi
seakan-akan salah satu bagian dari ratapan.
Beliau juga berkomentar
mengenai perkataan para fuqoha’ (ulama fiqih) yang dalam kitab-kitab mereka
menganjurkan membuatkan makanan bagi ahli mayit: hal tersebut mengandung
sebagaimana yang telah kami sebutkan, yaitu hanya bagi orang yang dikuasai oleh
kesedihan sebagaimana pada keluarga ja’far.
Kemudian beliau menukil cerita dari shohibut tuhfah bahwa ada
sebagian ulama yang berfatwa akan bolehnya memberikan makanan kepada para
penta’ziyah yang diambil dari sepertiga harta tinggalan mayit.
Jawaban kami kepada Syaikh,
tentang hadits kulaib, selain jawabanan kami kepada assuyuthi, kami tidak
mendapati para ulama berhujjah dengan hadits tersebut untuk membolehkan anggota
keluarga mayit membuatkan makanan untuk orang-orang, mereka hanya berhujjah
atas larangan mengghoshob/mempergunakan harta orang lain tanpa hak. Kecuali
kami dapati dari sebagian ulama hanafiyyah yang berhujjah dengannya atas
pembolehan ahli mayit membuatkan makanan, diantara mereka adalah ibrohim
al-halabi dalam syarh kitab “mun-yatul musholli” dan ahmad ath-thohthowi dalam
hasyiyyah-nya terhadap kitab “maroqil falah”, maka kami berkeyakinan hati bahwa
pendapat syaikh diatas, didapat beliau dari mereka.
Dari segi lafadz-nya,
yang masyhur kata “امرأة” dalam hadits tersebut
berbentuk nakiroh atau samar, sedang sebagaimana yang dikeluarkan oleh
attibrizi dalam “almisykat”nya ada tambahan dhomir atau kata ganti setelahnya “امرأته” yang menunjuk kepada si mayit dan bermakna istri si mayit, akan
tetapi almubarokfuri mengatakan dalam syarh sunan attirmidzi-nya bahwa
penambahan ini adalah lemah, bahkan sebagaimana yang dikeluarkan oleh ahmad terdapat
tambahan quroisy “امرأة من قريش” yang bermakna seorang
wanita quroisy, dan juga tidak ada lafadz yang awal yaitu soal mayit.
Seorang ‘ulama
hanafiyyah lainnya yaitu ibnu ‘abidin, dalam hasyiyyah-nya terhadap kitab
“roddul mukhtar”, beliau mengomentari pengambilan dalil yang dilakukan sebagian
shahabatnya diatas, beliau mengatakan: Dalam hal ini (mengambilan dalil mereka)
butuh pemeriksaan lebih lanjut, karena sesungguhnya (dalam riwayat kulaib) kejadiannya
secara tiba-tiba dan tidak bersifat umum meskipun mengandung sebab khusus, juga
kalau kita mengambil pembahasan dalam madzhab kita (hanafiyyah) maupun madzhab
lainnya seperti syafi’iyyah dan hanabilah kita akan mendapati mereka berdalil
dengan hadits jarir yang tersebut atas kemakruhannya.
Dan mayoritas hanafiyyah berpendapat bahwa mendapatkan makanan dari
ahli mayit adalah perkara tercela, meskipun dalam hal duduk-duduk mereka juga
ada dua pendapat.
Tentang hadits A’isyah,
para ‘ulama mengatakan bahwa beliau bukanlah keluarga mayit yang serumah, akan
tetapi merupakan kerabatnya, dan sedang kumpul-kumpul para wanita tersebut
hanya untuk berta’ziyah, kemudian para wanita tersebut membubarkan diri dan
tidak ikut makan-makan, makanan tersebut disediakan oleh a’isyah untuk
dihidangkan kepada keluarganya tersebut yang sedang tertimpa musibah, ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh albaihaqi dalam sunan-nya.
Yang hampir sama dengan
hadits a’isyah ini adalah hadits a’isyah lainnya, yang telah kami sebutkan
diawal pembahasan, yaitu bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam sedang
duduk-duduk ketika diberitakan kepada Beliau tentang kematian zaid bin haritsah,
ja’far dan ibnu rowahah, sehingga ibnu hajar al-asqolani mengatakan dalam
al-fath-nya: Diantara faidah dalam hadits ini adalah diperbolehkannya
duduk-duduk bagi para penta’ziyyah dengan tenang dan penuh rasa hormat. Akan
tetapi pendapat yang mu’tamad (diikuti) adalah bukanlah yang demikian, karena
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam ketika itu tidak sedang berta’ziyyah,
dalam salah satu riwayat Beliau sedang duduk-duduk di masjid, kemudian ada yang
mendatanginya dan mengabarkan tentang keadaan para wanita ja’far. Syaikhul
islam dalam syarh arroudh, alkhotib dalam almughni dan arromli dalam annihayah
mengatakan: Kami tidak menerima (sependapat), kalau duduknya Beliau
(shollallohu ‘alaihi wasallam) karena supaya orang-orang mendatangiNya untuk berta’ziyyah.
Dan tentang
peng-qoyyid-an/syarat syaikh terhadap penjelasan para ‘ulama, maka kami tidak
mendapati yang tersebut dari mereka. Sedang nukilan beliau dari pengarang kitab
tuhfah, berarti beliau merujuk atas pendapat yang syadz/tidak digunakan dalam
madzhab, karena apa yang dinukil oleh alhaitami dalam kitabnya tersebut,
menurut istilah para fuqoha’ syafi’iyyah adalah shighot tabarri yang bermaksud
bahwa alhaitami berlepas diri qoul tersebut, karena beliau telah menyebutkan
pendapat beliau sendiri, ini juga dikuatkan oleh perkataan beliau diakhir
pembahasan bahwa tidak boleh berwasiat untuk menyembelih dikuburan sebagaimana ahli
mayit membuatkan makanan. Bahkan dalam kitabnya yang lain seperti syarh ‘ubab
beliau juga mengatakan hal yang sama, yaitu atas tidak sah-nya pelaksanaan
wasiat dengannya.
Para ‘ulama ahli tahqiq dari kalangan ashhab syafi’i mengatakan:
Tidak boleh berfatwa dengan pendapat yang lemah dalam madzhab. Bahkan mereka
mengatakan: Tidak boleh berfatwa dengan yang menyelisihi alhaitami dan arromli.
Dengan syarat: Tidak menyelisihi kaidah madzhab. Demikian yang dijelaskan oleh
syaikh muhammad bin sulaiman alkurdi dalam alfawa’idul makkiyyah, maupun ulama lainnya
termasuk termasuk oleh guru kami, syaikh maisur sindi, dalam attadrib dan ‘umdah-nya, beliau
mengatakan didalamnya: Diperbolehkan beramal, berfatwa dan berhukum dengan
setiap berkataan mereka (annawawi dan lainnya), selagi keadaannya tidak
nyata-nyata lemah. Sedang dalam permasalahan ini alhaitami bahkan telah
mentarjihkannya.
Koreksi untuk nahdlatul ‘ulama
Dalam keputusan mu’tamar
para ‘ulama jam’iyyah nahdlatul ‘ulama indonesia yang pertama, dinyatakan bahwa
menghidangkan makanan kepada para penta’ziyyah dengan tujuan bershodaqoh untuk
mayit adalah makruh, akan tetapi hukum makruh tersebut tidak menghilangkan
pahala shodaqoh. Pernyataan “tidak menghilangkan pahala shodaqoh” tersebut
perlu ada pembahasan lebih lanjut, karena ada sebuah hadits riwayat abu
huroiroh berikut;
عن أبي هريرة، قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: من جمع مالا حراما، ثم تصدق به، لم يكن له فيه أجر،
وكان إصره عليه. رواه ابن حبان في صحيحه بإسناد حسن
Artinya: Dari abi huroiroh, dia berkata: Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa mengumpulkan harta yang harom,
kemudian dia mensedekahkannya, tidak ada pahala sama sekali baginya atas hal
tersebut, dan dosanya supaya dia tanggung sendiri. HR. ibnu hibban dengan
sanad hasan
Pernyataan mereka
tersebut merujuk kepada fatwa alhaitami, yang telah kami sebutkan diawal, yang
mengatakan: tidak sampai harom ….., sambil mengharap pahala dari
perbuatannya tersebut. Kami katakan bahwa tidak tepat jika mereka merujuk
kepada perkataan alhaitami ini, karena perkataan alhaitami ini menunjuk kepada
perbuatan menjaga kehormatan dan bukannya perbuatan membuat makanan, apalagi
bersedekah. Demi untuk menjaga kehormatan ini, alhaitami berhujjah dengan
sebuah hadits riwayat a’isyah;
عن
عائشة، قالت: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إذا أحدث أحدكم في صلاته فليأخذ بأنفه،
ثم لينصرف. رواه أبو داود وابن ماجة بإسناد صحيح
Artinya: Dari a’isyah, dia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian ber-hadats dalam
sholat-nya, maka pegangilah hidungnya, kemudian berpalinglah. HR. Abu dawud
dan Ibnu majah dengan sanad shohih
Kemudian beliau menjelaskan: Alasannya adalah untuk menjaga
kehormatannya dari cibiran orang-orang, kalau dia berpaling dari cara-cara
seperti ini.
Tentang maksud hadits dari hadits a’isyah itu sendiri,
al-khoththobi menjelaskan dalam “al-ma’alim” nya: Diperintahkan untuk menutupi
hidungnya supaya orang tidak tahu kalau dia mimisan, disini merupakan melakukan
prilaku untuk menutupi cela dan menyamarkan kejelekan atas suatu persoalan dan
menyembunyikan serta memperlihatkan yang lebih baik, tidak terkait sama sekali
dengan ingin dilihat atau bohong, akan tetapi untuk memperbagus diri,
mengamalkan rasa malu dan mencari keselamatan dari orang.
Kemudian pahala yang
tidak akan hilang adalah pahala bagi yang bersedekah, meskipun pahala tersebut
telah dia hadiahkan kepada si mayit, akan tetapi bagi dia sendiri tetap
mendapat pahala sedekah tersebut tanpa berkurang nilainya sebagaimana dia
bersedekah untuk dirinya sendiri, penjelasan ini sebagaimana dalam sebuah
hadits yang dikeluarkan oleh albukhori dan muslim dari a’isyah yang telah kami
sebutkan sebelumnya, akan tetapi dengan lafadz dari ibnu majah, yaitu;
عن
عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إن أمي افتلتت نفسها ولم توص،
وإني أظنها لو تكلمت لتصدقت، فلها أجر إن تصدقت عنها ولي أجر؟ فقال: نعم. رواه
ابن ماجه بإسناد صحيح
Artinya: Dari a’isyah, bahwa ada seorang laki-laki yang telah
mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, kemudian bertanya: Sesungguhnya
ibuku telah meninggal secara mendadak dan belum sempat berwasiat, dan aku
mengira kalau beliau bisa berbicara sungguh dia akan bersedekah, lantas apakah
beliau mendapat pahala jika aku mensedekahkannya begitu pula aku? Beliau
menjawab: ya. HR. ibnu majah dengan sanad shohih
Al-imam asy-syafi’i berkata: Luas sekali anugerah Alloh, yang
dimana Dia mengganjar pula orang yang bersedekah.
Para ashhab kita (asy-syafi’iyyah) berkata: Disunnahkan bagi yang
bersedekah untuk orang tuanya supaya meniatkan sedekahnya tersebut, karena
Alloh akan memberikan pahala kepada orang tuanya tersebut, tanpa berkurang
sedikitpun ganjaran atas dia (yang bersedekah).
Benar apa yang dikatakan oleh mereka, bahkan setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seorang anak yang sholih dengan amal-amal kesholihannya, maka
orang tua akan mendapatkan pula pahala yang sepadan tanpa berkurang sedikitpun
pahala tersebut, karena seorang anak merupakan hasil usaha dari mereka berdua.
وقال
تعالى: ﴿ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى ﴾. النجم: ٣٩
Artinya: Dan Alloh berfirman: Dan tidaklah bagi seorang manusia,
melainkan apa yang telah dia usahakan. QS. An-najm: 39
وروي عن عائشة قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن
ولده من كسبه. رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه، وقال الترمذي: حديث
حسن.
Artinya: Dan telah diriwayatkan dari a’isyah, dia berkata:
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya
sebaik-baik apa yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari hasil usahanya,
dan sesungguhnya anaknya merupakan diantara hasil usahanya. HR. abu dawud,
attirmidzi, annasa’i dan ibnu majah, attirmidzi berkata: hadits ini hasan.
Akhir pembahasan
sesungguhnya membuat
makanan dan mengundang orang-orang untuk berkumpul dengannya adalah merupakan
bid’ah yang tercela, meskipun itu disertai dengan sedekahan atas mayit,
pembacaan alqur’an kepadanya, mendo’akannya, maupun lain sesamanya. Kalau ingin
bersedekah atasnya, membacakannya alqur’an, mendo’akannya dan lainnya yang
dianjurkan oleh syari’at adalah dengan cara yang tepat dan tidak bertentangan
dengan larangan diatas yaitu tanpa berkumpul-kumpul dan membuatkan makanan
atasnya. Muhammad nawawi albantani mengatakan, sebagaimana beliau menukil dari
assayyid ahmad dahlan: Bersedekah atas mayit dengan bentuk yang syar’i adalah
sangat ditekankan, tanpa harus menentukan selama tujuh hari atau lebih. Bersedekah
atas mayit adalah dengan cara dibagikan sebagaimana yang disampaikan oleh
al-haitami, as-suyuthi dan lainnya, meskipun petunjuk tentang itu perlu ada
penilitian lebih mendalam. Begitu pula membacakannya alquran, mendo’akannya dan
lain sebagainya, yang insyaAlloh ini masing-masingnya akan dibahas dalam
tulisan tersendiri.
Demikian akhir
pembahasan ini, tidaklah sempurna tulisan kami ini, karenanya kami memohon
ma’af sekiranya tulisan ini tidak mengenakkan hati sebagian saudara-saudara
kami sekalian, kalau ada yang kurang tepat maka kami memohon nasehatnya, disini
kami hanya ingin menyampaikan apa yang ada disisi kami, kegelisahan kami,
sebagian masyayekh dan banyak ikhwah sedari dalam pencarian.
Sekiranya ini adalah suatu kebenaran, kita memohon taufiq
kepada Alloh subhanahu wa ta’ala agar diberi kemampukan untuk meninggalkan
amalan yang kelihatan bagus tapi tercela ini, dengan tetap bisa mengamalkan
sisi-sisi syar’i-nya, juga sunnah-sunnah yang baik lainnya dari orang-orang
terdahulu. Seterusnya, dengan keikhlasan, kesabaran dan sikap santun, semoga
ajakan kepada saudara-saudara kita akan menyentuh hati-hati mereka.
فنسأل الله تعالى أن يهدينا
وإخواننا سواء السبيل
وأن يوفقـنا للحق وقبوله إنه
خير مسئـول
وآخر
دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
آمـــين