Hukum seputar selamatan orang meninggal


بسم الله الرحمن الرحيم
     الحمد لله رب العالمين، ولا عدوان إلا على الظالمين، والعاقبة للمتقين، وصلاة الله وسلامه على نبينا محمد سيد المرسلين، وخاتم النبيين، وعلى آله الطاهرين، وأصحابه الطيبين، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أمابعد:
     Selamatan atau kenduri untuk orang meninggal biasa diamalkan oleh kebanyakan orang-orang di india dan jawa yang  dipersembahkan untuk kerabatnya yang baru meninggal, dilakukan selama tujuh hari setelah kematiannya, empat puluh harinya, seratus harinya, seribu harinya, setiap putaran tahunnya, atau pada waktu-waktu tertentu.
Dilakukan secara berkumpul dengan pembacaan tahlil, fida’ dan sesamanya yang berisi kumpulan kalimat thoyyibah yang berupa surat-surat alqur’an, potongan-potongan ayat, bahkan ada yang sampai 30 juz penuh, orang-orang menyebutnya sebagai “khotmah” atau khataman, maupun lafadz-lafadz dzikir lainnya, untuk dihadiahkan pahala bacaannya kepada mereka, mendo’akannya, membuatkan dan memberikan hidangan makanan atau lainnya bagi orang-orang yang menghadiri acara tersebut sebagai shodaqoh diatas namakan orang yang meninggal, bahkan kalau yang meninggal adalah seorang pembesar akan disampaikan sedikit tentang kebaikan-kebaikan mereka  semasa hidup. Ibnu bathuthoh mengatakan bahwa yang pertama mengadakannya adalah sultan nashiruddin syah, sultan ma'bar tamil nadu india selatan. Beliau bermadzhab hanafi, yang nanti, insyaAlloh, pada postingan selanjutnya akan kami sebutkan beberapa ulama hanafi setelahnya yang membolehkannya.

Hukum seputar selamatan
     Para ‘ulama telah meneliti dan membahas permasalahan ini dan mengambil keputusan bahwa ‘amaliyah ini adalah sesuatu yang baru atau bid’ah, meskipun berisi sesuatu yang syar’i akan tetapi bercampur dengan sesuatu yang menyelisihi sunnah sehingga merupakan bid’ah yang munkar dan makruh atau dibenci untuk dilakukan.
Ibnu hajar alhaitami ketika dimintai fatwa oleh murid-muridnya dari india seperti ahmad alma'bari tsumma almalibari pengarang kitab fathul mu'in, dan lainnya tentang hal ini, beliau mengatakan dalam fatawa-nya: Apa yang telah disebutkan dalam pertanyaan adalah merupakan diantara bid’ah-bid’ah yang tercela, akan tetapi tidak sampai harom, kecuali didalamnya ada suatu aktifitas seperti meratap dan nyanyian kesedihan (maka ini harom), dan tidak sampai harom yaitu yang barang siapa melakukan beberapa diantaranya karena menghindari cibiran orang-orang bodoh dan kalau tetap meninggalkan, mereka akan membuat permusuhan dengannya, juga sambil mengharap pahala dari perbuatannya tersebut.
Ahmad salamah alqulyubi menukil dari syarh arromli: Diantara bid’ah-bid’ah yang dibenci adalah melakukannya, sebagaimana disebutkan dalam arroudhoh yaitu apa yang dilakukan orang-orang yang disebut dengan kafarot, dan diantaranya yaitu membuat makanan untuk mengumpulkan orang-orang sebelum kematian atau setelahnya.
Kami katakan: Mengumpulkan orang dan membuatkan mereka makanan disebut sebagai kafarot yang bermaksud pelebur dosa, berawal dari amalan sebagian orang yang membuat makanan sebagai denda karena si mayit ketika meninggal mempunyai tanggungan kewajiban seperti tidak melakukan puasa romadhon dll. Sedang maksud perkataan sebelum dan sesudah kematian disini mungkin adalah sebelum dan sesudah penguburan, wallohu a’lam.
Sulaiman aljamal menukil dari abdulloh albirmawi: Diantara bid’ah-bid’ah yang munkar dan dibenci yaitu melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang mereka menyebut sebagai kafarot, diantaranya pula adalah bermurung diri, berkumpul-kumpul hingga empat puluh hari.
Nukilan-nukilan diatas dikuatkan oleh sulaiman albujairomi dalam hasyiyyah-nya atas fathul wahhab dengan mengatakan: Diantara bid’ah-bid’ah yang munkar adalah apa yang dilakukan orang-orang yang disebut sebagai kafarot, diantaranya juga adalah membuat makanan selama empat puluh hari untuk mengumpulkan orang-orang sebelum kematian maupun setelahnya, diantaranya pula adalah menyembelih diatas kuburan, diantaranya pula adalah bermurung diri, berkumpul-kumpul hingga empat puluh hari, dan lain-lain sesamanya.
Sedang dalam hasyiyyah-nya atas al-iqna’, sambil menukil dari alqulyubi, beliau mengatakan: Seperti bermurung diri adalah apa yang dilakukan orang dengan menyediakan makanan atau lainnya untuk para pembaca (alqur’an), sebagaimana pula dengan tidak beraktifitas dan berkumpul-kumpul, maka itu juga harom (jika menggunakan harta hutangan dan sesamanya), begitu pula kegiatan kafarot yang sudah dikenal (ditengah masyarakat). Ini dikuatkan oleh syaikh mahfudz attarmasi dalam hasyiyyah-nya terhadap syarh bafadhol, dengan mengatakan: Maka seyogyanya orang-orang supaya mewaspadainya.
Assayyid albakri menukil dari Abdurrahman sarroj, seorang mufti hanafi di makkah, dari pengarang hasyiyyah “roddul mukhtar”, dari albazzaz dalam fatawa albazzaziyyah, dikatakan: Dibenci menyiapkan makanan pada hari pertama, ketiga dan setelah tujuh hari, juga membawa makanan ke kuburan pada waktu-waktu tertentu.

Alasan pertama
     Amalan ini dikatakan bid’ah yang buruk, diantaranya karena adanya larangan berkumpul-kumpul ketika kematian, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat A’isyah;
عن عائشة رضي الله عنها، قالت: لما جاء النبي صلى الله عليه وسلم قتل ابن حارثة، وجعفر، وابن رواحة جلس يعرف فيه الحزن وأنا أنظر من صائر الباب شق الباب، فأتاه رجل فقال: إن نساء جعفر، وذكر بكاءهن، فأمره أن ينهاهن. رواه البخاري ومسلم
Artinya: dari A’isyah rodhiyallohu ‘anh, dia berkata: Ketika datang kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tentang berita terbunuhnya ibnu haritsah, ja’far dan ibnu rowahah, Beliau duduk dengan perasaan penuh kesedihan, aku melihat beliau dari balik celah-celah pintu, kemudian datanglah seorang laki-laki kepada Beliau dan berkata: sesungguhnya para wanita ja’far, dia menyebutkan tentang tangisan mereka, kemudian Beliau memerintahkannya untuk melarang mereka. Muttafaq ‘alaih.
Juga riwayat jabir bin abdulloh yang akan kami sebutkan nanti, insyaAlloh.
Al-‘aini dalam ‘umdatul qori’, syaikhul islam zakaria al-anshori dalam minhatul bari dan lainnya dari dari para pensyarah hadits ini mengatakan: Maksudnya (para wanita ja’far) yaitu istrinya yang bernama asma’ bin ‘umais al-khots’amiyyah dan para wanita yang hadir dari kalangan kerabat ja’far.
Dalam hadits ini, bisa diambil faidah bahwa tidak diperbolehkan berkumpul-kumpul ketika kematian, dan tangisan disini adalah tangisan yang terlarang, karena ketika tangisan dalam suatu kumpulan akan berakibat mengeraskan suara.
Hal ini telah din ash oleh al-imam asy-syafi’i dalam kitab “al-umm” nya, beliau mengatakan: Aku sangat membenci “al-ma’tam”, yaitu perkumpulan (dalam kematian), meskipun mereka tanpa tangisan, karena hal tersebut akan memperbarui kesedihan dan membebani untuk menyediakan makanan.
Alasan asy-syafi’i ini akan terkait dengan alasan nanti yang kedua.
Syaikh abu hamid al-isfiroyaini dalam ta’liq-nya dan para ashhab lainnya menjelaskan tentang arti “ma’tam” ini: Maksudnya adalah duduk-duduk ketika ber-ta’ziyyah, yaitu keluarga mayit berkumpul pada suatu rumah, kemudian orang-orang yang ingin berta’ziyyah akan mendatangi mereka. Syaikh dan lainnya mengatakan: Bahkan seyogyanya mereka supaya membubarkan diri dalam aktifitas mereka masing-masing, kemudian barang siapa secara kebetulan bertemu dengan mereka, maka ber-ta’ziyyahlah seketika itu.
Demikian sebagaimana yang telah dinukil oleh an-nawawi, sedang al-‘umroni mengatakan dalam “albayan”: Hal tersebut dimakruhkan karena merupakan hal baru dan diada-adakan, tetapi seharusnya dari setiap mereka melakukan aktifitasnya masing-masing, kemudian berta’ziyyahlah di musholla, pasar, maupun tempat lain.
Abu ishaq asy-syairozi mengatakan dalam “almuhadzdzab”: Dimakruhkan duduk-duduk untuk berta’ziyyah, karena hal tersebut merupakan hal yang baru, dan sesuatu yang baru adalah bid’ah.
Beliau mengatakan pula dalam at-tambih: Dimakruhkan duduk-duduk dalam rangka untuk ta’ziyyah.
Demikian sebagaimana yang dikatakan oleh annawawi dalam arroudhoh, syaikhul islam zakaria al-anshori dalam arroudh dan syarh albahjah, assuyuthi dalam syarh tambih dan al-amru bil ittiba’, ibnu hajar alhaitami dalam attuhfah, alkhothib muhammad asy-syirbini dalam almughni, dan lainnya.
Annawawi mengatakan: Dimakruhkan duduk-duduk dalam rangka untuk berta’ziyah.
Syaikhul islam mengatakan: Dimakruhkan duduk-duduk dalam rangka untuk berta’ziyah. Dalam syarh-nya beliau mengatakan: Yaitu dengan cara ahli mayit berkumpul pada suatu tempat supaya orang-orang mendatanginya untuk berta’ziyyah, (hal tersebut dimakruhkan) karena merupakan sesuatu yang baru (muhdats), dan sesuatu yang baru tersebut adalah bid’ah, dan (makruh) juga karena memperbaharui kesedihan dan membebani yang di-ta’ziyah-i.
Beliau juga mengatakan dalam syarh albahjah: Dimakruhkan duduk-duduk dalam rangka untuk berta’ziyah, karena hal tersebut memperbaharui kesedihan.
As-suyuthi mengatakan: Dimakruhkan duduk-duduk untuk tujuan ta’ziyah, yaitu keluarga mayit berkumpul pada suatu rumah dan orang-orang mendatanginya, maka ini adalah bid’ah.
Alhaitami mengatakan: Dimakruhkan bagi ahli mayit berkumpul-kumpul supaya para penta’ziyah mendatanginya, para imam berkata: bahkan seyogyanya mereka supaya membubarkan diri dalam aktifitas mereka masing-masing, kemudian barang siapa secara kebetulan bertemu dengan mereka, maka ber-ta’ziyyahlah seketika itu, dan (dimakruhkan pula) membuat perkumpulan untuk ini.
Asy-syirbini mengatakan: Dimakruhkan duduk-duduk dalam rangka untuk berta’ziyah, yaitu dengan cara ahli mayit berkumpul pada suatu tempat supaya orang-orang mendatanginya untuk berta’ziyyah, (hal tersebut dimakruhkan) karena merupakan sesuatu yang baru (muhdats), dan sesuatu yang baru tersebut adalah bid’ah, dan (makruh) juga karena memperbaharui kesedihan dan membebani yang di-ta’ziyah-i.
Assayyid ahmad bin zaini dahlan mengatakan: Apa yang dilakukan orang-orang dengan berkumpul pada ahli mayit dan mereka (ahli mayit) membuat makanan, hal tersebut termasuk bid’ah yang munkar.
Assayyid albakri bin syatho ad-dimyathi mengatakan: Dimakruhkan bagi ahli mayit duduk-duduk untuk tujuan ta’ziyyah.
Kemudian murid beliau, yaitu syaikh muhammad mahfudz attarmasi mengatakan dalam hasyiyyah-nya atas syarh bafadhol: Dimakruhkan bagi ahli mayit untuk duduk-duduk pada suatu tempat supaya orang-orang mendatanginya, karena hal tersebut merupakan bid’ah dan memperbaharui kesedihan dan membebani yang di-ta’ziyah-i.
Sedang ibnul madzhaji mengatakan dalam al’ubab: Dimakruhkan bagi ahli mayit, laki-laki maupun perempuan, duduk-duduk untuk berta’ziyyah. Dan arromli mengatakan dalam annihayah: Dimakruhkan bagi ahli mayyit untuk duduk-duduk pada suatu tempat, supaya orang-orang mendatanginya untuk ber-ta’ziyyah.
     Inilah kesepakatan ‘ulama secara keseluruhan dan tanpa khilaf. Qodhi husain menceritakan: Bahwa orang yang pertama duduk untuk ta’ziyah di marwa (kota di negeri khurosan yang sekarang masuk wilayah turkmenistan) yaitu abdulloh bin mubarok, ketika saudaranya yang bernama kaikunah meninggal, lantas tetangganya yang seorang majusi mendatanginya dan berkata: hak bagi seorang yang tahu untuk melakukan (nya) dihari pertamanya sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu setelah tiga hari, kemudian ibnu mubarok memerintahkan untuk melipat alas-nya dan meninggalkan ta’ziyah.

Alasan kedua
     Juga karena menyelisi perintah anjuran untuk membuatkan makanan bagi ahli mayit yang ditinggal, diberikan kepada mereka untuk dimakan karena diwaktu itu mereka disibukkan dengan musibah yang menimpa mereka,
روي عن عبد الله بن جعفر، قال: لما جاء نعي جعفر، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اصنعوا لآل جعفر طعاما، فإنه قد أتاهم أمر يشغلهم. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجة، وقال الترمذي: هذا حديث حسن.
Artinya: Diriwayatkan dari abdulloh bin ja’far, dia berkata: ketika sampai berita tentang kematian ja’far, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: Buatkan makanan kepada keluarga ja’far, sesungguhnya mereka telah tertimpa peristiwa yang menyibukkan mereka. HR. Abu dawud, attirmidzi dan ibnu majah, attirmidzi berkata: ini hadits hasan.
Hal ini diperjelas dengan riwayat dari jarir bin abdillah;
وروي عن جرير بن عبد الله، قال: كنّا نرى الإجتماع إلى أهل الميّت وصنعة الطّعام من النّياحة. رواه أحمد وابن ماجة بإسناد صحيح، وزاد في رواية أحمد: وصنيعة الطعام بعد دفنه.
Artinya: Dan diriwayatkan dari jarir bin ‘abdulloh, dia berkata: Kami melihat bahwa berkumpul kepada keluarga mayit dan membuat makanan adalah termasuk ratapan. HR. Ahmad dan ibnu majah dengan sanad shohih, tambahan dalam riwayat ahmad: Dan membuatkan makanan setelah penguburannya.
وسئل جرير لعمر: هل يناح قبلكم على الميت؟ قال: لا، قال: فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام؟ قال: نعم، فقال: تلك النياحة. رواه ابن أبي شيبة في مصنفه بإسناد صحيح
Artinya: Dan jarir bertanya kepada ‘umar: Apakah sebelum ini kalian meratapi mayit? dia menjawab: tidak, kemudian jarir bertanya lagi: apakah kalian mengumpulkan para wanita di tempat kalian atas mayit dan membuatkan makanan? Dia menjawab: ya, kemudian jarir berkata: itu termasuk meratap. HR. ibnu abi syaibah dalam mushonnaf-nya dengan sanad shohih
     Membuatkan makanan ini secara langsung akan berkaitan ketika orang-orang berkumpul dikediaman ahli mayyit sebagaimana yang telah dijelaskan oleh asy-syafi’i dan telah kami sebutkan sebelumnya. Dan hal tersebut merupakan termasuk meratap karena memberatkan mereka, ketika mereka disibukkan dengan musibah yang ada, lalu mereka diharuskan untuk menyibukkan dengan aktifitas lain maka ini akan menambahi musibah yang ada pada mereka.
     Hidangan ini, orang arab biasa menyebutnya dengan “walimatul wadhimah” dan para ‘ulama telah sepakat bahwa hal ini merupakan bid’ah/baru, ibnush-shobbagh mengatakan: Adapun perbuatan ahli mayit menghidangkan makanan, mengumpulkan orang-orang, maka ini tidak ada nukilannya sama sekali, hal tersebut merupakan bid’ah yang tidak ada anjurannya.
Pendapat ini dikuatkan oleh al’umroni dan annawawi, kemudian yusuf al-ardabili mengatakan dalam kitabnya “al-anwar” bahwa bid’ah ini merupakan bid’ah yang makruhah atau tercela, kemudian pendapatnya diikuti oleh para ashhab lainnya.
Al-ardabili mengatakan didalamnya: Ahli mayit membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang maka itu adalah bid’ah makruhah/yang dibenci.
Syaikhul islam zakaria al-anshori mengatakan dalam syarh ar-roudh: Dimakruhkan bagi ahli mayit membuat makanan, yang orang-orang berkumpul kepadanya. Beliau juga mengatakan dalam syarh al-bahjah: keluarga mayit menyediakan makanan untuk orang-orang maka ini adalah bid’ah yang tercela.
Ibnul madzhaji dalam al’ubab maupun alhaitami dalam syarh-nya yaitu al-i’ab, mengatakan: membuat makanan untuk mengumpulkan orang-orang adalah perbuatan yang dibenci.
Alhaitami juga mengatakan dalam at-tuhfah: Apa yang telah mentradisi dimana ahli mayit membuat makanan, kemudian mengundang orang-orang untuk menghadirinya, maka ini adalah bid’ah yang dibenci. Begitu pula menerima undangan tersebut merupakan bid’ah yang dibenci. Beliau berkata: berkata para imam: bahkan seyogyanya mereka melakukan aktifitas mereka masing-masing.
Beliau mengatakan pula dalam fathul jawad: Dimakruhkan bagi ahli mayit membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kepadanya sebelum penguburan maupun setelahnya.
Alkhotib muhammad asy-syirbini mengatakan: Adapun ahli mayit membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, maka ini merupakan bid’ah yang tidak ada anjurannya.
Asy-syihab arromli mengatakan: Sesungguhnya merupakan bid’ah bagi ahli mayit membuat makanan dalam rangka mengumpulkan orang-orang kepadanya setelah penguburan maupun setelahnya.
Assayyid ahmad bin zaini dahlan mengatakan: Apa yang dilakukan orang-orang dengan berkumpul disisi keluarga mayit dan membuat makanan adalah termasuk bid’ah yang terlarang.
Assayyid albakri bin syatho addimyathi mengatakan: Dimakruhkan bagi ahli mayit duduk-duduk supaya orang berta’ziyah kepadanya, membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kepadanya.
Muhammad nawawi bin ‘umar albantani mengatakan dari husain almahalli dalam kasyful litsam ‘an as’ilatil anam: makanan yang disediakan untuk orang-orang berkumpul pada malam setelah penguburan mayit yang disebut dengan duka cita, hal itu merupakan hal yang dibenci.

Berkumpul antara yang masyru’ dan tidak
     Sesuatu yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela, hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh asy-syafi’i: Sesuatu yang menyelisihi sunnah adalah tercela. Ini dikeluarkan aleh abu nu’aim dari harmalah, sedang albaihaqi meriwayatkannya dari arrobi’, yaitu: Sesuatu yang baru, yang menyelisihi kitab (alqur’an), atau sunnah, atau ijma’, atau atsar adalah bid’ah yang sesat. Termasuk dalam hal ini adalah keluarga mayit membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, meskipun itu dengan tujuan yang disyari’atkan seperti bersedekah atas mayit, membacakannya alqur’an, mendo’akannya dan lain sebagainya. Al-bujairimi mengatakan dalam hasyiyyah-nya atas al-iqna’, sambil menukil dari alqulyubi: Seperti bermurung diri adalah apa yang dilakukan orang dengan menyediakan makanan atau lainnya untuk para pembaca (alqur’an). Ini dikuatkan oleh syaikh mahfudz attarmasi dalam hasyiyyah-nya terhadap syarh bafadhol. Juga dalam fatawa albazzaziyyah, yang beberapa bagiannya telah dinukil oleh as-sayyid al-bakri, dikatakan: Dimakruhkan membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan setelah tujuh hari, membawa makanan ke pekuburan pada waktu-waktu tertentu, membuat undangan untuk pembacaan alqur’an, mengumpulkan orang-orang sholih dan para pembaca alqur’an untuk khotaman atau membaca suroh al-an’am atau al-ikhlash.

Hukum yang berkaitan
     Ibnu hajar alhaitami mengatakan dalam “at-tuhfah” dan fatawa-nya bahwa tidak boleh melakukannya dengan menggunakan barang tinggalannya, seperti kalau si mayit masih punya hutang atau dalam ahli waris terdapat anak yatim yang belum bisa mentashorrufkan hartanya atau orangnya tidak ada yang dibutuhkan idzin dan ridho-nya, maka kalau tetap dilakukan berarti dia berdosa dan dia harus mengembalikannya. syihab ar-romli mengatakan dalam hasyiyah syarh roudh: Tidak diragukan lagi atas keharomannya kalau si mayit mempunyai hutang atau si ahli warisnya ada anak yatim atau tidak jelas keberadaannya dan kegiatan tersebut menggunakan harta tinggalan.
     Tentang Pembuat makanannya ini bersifat umum, bukan saja hanya dari ahli mayit saja, akan tetapi termasuk pula adalah orang-orang yang ikut membantunya seperti tetangga dan kerabatnya, maka ini dimakruhkan juga, alhaitami mengatakan: kalau dikatakan bahwa membantu ahli mayit membuat makanan untuk diberikan kepada orang-orang adalah tidak makruh, maka ini perlu diteliti terlebih dahulu. Yang menjadi syubhat adalah apa yang disebutkan dalam kitab “bulughul umniyyah”: Ketahuilah, bahwa orang-orang jawa, secara umum ketika ada salah satu dari mereka meninggal, mereka mendatangi keluarganya dengan membawa beras mentah, setelah diberikan kemudian mereka memasakkannya dan mempersilahkannya kepada keluarga mayit serta orang-orang yang hadir, ini sebagai pengamalan hadits: اصنعوا لآل جعفر طعاما. kami katakan: Tidaklah ini seperti apa yang dikatakan, akan tetapi betapa banyak dari mereka yang merasa berat selain dari pada itu mereka tetap melakukannya karena tuntutan kebiasaan, rasa berbakti kepada orang tua dan merasa hal itu juga merupakan tuntutan syari’at, dan ini masih masuk dalam larangan duduk-duduk dan berkumpul disisi mereka dan mendapatkan makanan dari mereka.
     Penerimanya pun juga bersifat umum, apakah mereka adalah penta’ziah, penggali kuburan atau kah yang mengurusi mayit maupun yang lainnya sebagaimana difatwakan oleh al-haitami. Pendapat yang lain dikatakan oleh assuyuthi, bahwa larangan menyediakan makanan tersebut hanya untuk orang-orang kaya dan tetamu, sedang untuk orang-orang fakir maka tidak mengapa, insyaAlloh nanti akan kami sebutkan bantahannya.
     Tidak sah seseorang berwasiat supaya nanti setelah kematiannya dilakukan seperti diatas, karena dia berwasiat atas sesuatu yang dimakruhkan, kalau dia tetap melakukannya maka batallah wasiatnya tersebut, hal ini dijelaskan oleh al-ardabili, beliau mengatakan dalam “al-anwar”: Tidak sah berwasiat memberikan makan kepada para penta’ziyah, karena hal itu adalah makruh. Beliau mengatakan lagi: Dan tidak sah memberikannya kepada para wanita yang berkumpul untuk meratap, ketentuan ini adalah kuat karena hal itu adalah harom secara pasti.
Pendapat ini dikuatkan oleh al-haitami dalam “attuhfah” dan “al-i’ab”, beliau mengatakan: Karena hal tersebut terkait dengan duduk-duduk untuk ta’ziyah. Kemudian beliau mengisahkan dari sebagian ashhab yang mengesahkannya, tapi pendapat ini lemah.
     Dimakruhkan bagi seseorang untuk menerima undangan ahli mayit dalam rangka menghadiri acara tersebut sebagaimana pula dimakruhkan bagi ahli mayyit membuat undangan atasnya, ini sebagaimana yang difatwakan oleh al-haitami, beliau mengatakan: Ahli mayyit membuat makanan, kemudian mengundang orang-orang untuk menghadirinya, maka ini merupakan bid’ah yang tercela, sebagaimana menerima undangan mereka untuk menghadiri acara tersebut. Sebagaimana kami sebutkan perkataan beliau sebelumnya bahwa andai dia tetap menghadirinya karena khawatir cibiran orang maka ini juga makruh.
     Kami katakan: Diantara kemakruhan tersebut adalah mendapatkan makanan dari ahli mayit maka dimakruhkan memakannya. Kalau dia makan bersama ahli mayit dari makanan dia sendiri yang telah dia berikan sebelumnya kepada ahli mayit, maka alhaitami menjelaskan: kalau dia tidak memberikannya terlebih dahulu maka itu boleh, sedang kalau dia berikan terlebih dahulu maka tidak boleh, karena hal tersebut terkait dengan undangan. Wallohu a’lam.

Ajakan
     Assayyid ahmad bin zaini dahlan, mufti syafi’iyyah di makkah pada zamannya, sebagaimana yang dinukil oleh muridnya assayyid albakri, beliau mengatakan: Tidak diragukan bahwa mencegah orang dari melakukan bid’ah yang munkar ini akan menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, membuka pintu-pintu kebaikan kepada orang banyak dan menutup pintu-pintu keburukan kepada mereka, sesungguhnya orang-orang memikul beban yang sangat banyak, sehingga mereka mengarahkan perbuatan tersebut menjadi diharomkan. Beliau berkata: aparat pemerintah akan diberi pahala atas pelarangan ini, semoga Alloh tetapkan sendi-sendi agama dan Dia kuatkan islam dan kaum muslimin dengan perantaraan mereka. Perkataan sayyid dahlan ini dibenarkan oleh assayyid albakri dengan perkataannya: Benar, pemerintah akan diberi pahala - semoga Alloh melipat gandakan pahala mereka dan mengokohkan kekuatan mereka – atas pelarangan mereka terhadap persoalan-persoalan tersebut yang merupakan diantara bid’ah yang hina.

Pengecualian
     Dikecualikan bagi ahli mayit, boleh membuatkan makanan bagi kerabat jauh yang datang dan beristirahat ditempat ahli mayit, sesuai dengan kadar berbuat baik kepada tetamu, bersamaan dengan itu annawawi dalam “roudhoh”nya mengisahkan dari arrofi’i yang mengatakan: Dianjurkan bagi tetangga ahli mayit maka itu akan lebih baik, supaya masuk dalam bentuk ini. Maksud ucapan tersebut adalah kalau yang membuat makanan tersebut adalah tetangganya maka itu lebih baik agar masuk dalam anjuran bagi tetangga mayit membuatkan makanan untuk mereka, wallohu a’lam.

Berkaitan
     Para ashhab maupun ‘ulama lainnya mengaitkan pembahasan ini dengan dimakruhkannya pula menyembelih dikuburan, mengoleskan darahnya, menyedekahkan dagingnya, albaghowi menjelaskan alasan mereka melakukannya: Si mayit, semasa hidupnya biasa menyembelihnya untuk para tamu, kemudian keluarganya melakukan tersebut setelah kematiannya. Maka ini juga termasuk dari bid’ah yang tercela, hal tersebut merupakan perbuatan jahiliyyah dan dikhawatirkan bagi pelakunya terjerumus kepada kesyirikan, juga makruh pula memakan sembelihan tersebut dan berwasiat atasnya, insyaAlloh ini akan dibahas lebih lanjut pada tempat yang lain.