Masjid Aceh |
Ketika mengkaji sejarah keilmuan, yang
paling tepat adalah dengan pengkajian sanad periwayatan, tapi alangkah disayangkan
kami tidak menemukan periwayatan ulama di negeri kita zaman ini yang bersambung
dengan para ulama yang berda’wah dahulu, kecuali sanad mursyid thoriqoh shufiyah
seperti qodiriyah dan syathoriyah, atau kami pernah mendapati beberapa sahabat
yang mempunyai catatan nasab hingga kepada mereka. Dan kita baru bisa mendapatinya
pada sekitar abad 12-13 hijriyah seperti pada syeikh nawawi banten dan lainnya.
Oleh karena itu, paling tidak kita bisa mengambil informasi dari catatan perjalanan
ibnu bathuthoh yang telah beliau bukukan, karena ketika di india, pada tahun 734
beliau diminta oleh sultan dehli untuk pergi ke cina, dalam perjalannya
tersebut beliau singgah di sumatera dan malaka.
Ibnu bathuthoh menjelaskan dalam bukunya
tersebut bahwa sultan ahmad bin muhammad syah almalikudz dzohir, sultan dari
kesultanan samudera pasai, merupakan raja yang paling ‘alim dan faqih diantara
raja-raja yang pernah beliau temui dalam pengembaraannya. Beliau biasa menyelenggarakan
majlis ilmunya setelah dzuhur hingga ‘ashar dengan membacakan beberapa kitab
juga melakukan diskusi dengan para fuqoha’ lainnya, dan beliau beserta rakyatnya
semua bermadzhab syafi’i.
Ibnu bathuthoh juga menjelaskan bahwa sultan
malikudz dzohir juga banyak melakukan jihad bersama rakyatnya untuk menaklukkan
negeri-negeri kafir disekitarnya. Beliau bukan orang pertama yang memeluk islam
di nusantara ini, karena menurut catatan para sejarawan bahwa sudah ada
masyarakat di nusantara ini yang memeluknya.
Cerita ini berlanjut hingga berabad-abad
kemudian yaitu ketika kami mendapat warisan kitab-kitab kuno dari kakek buyut
kami, yang dimana beliau mengkaji kitab-kitab tersebut di pesantren tegalsari,
tepatnya di ponorogo jawa timur. Pesantren/madrasah tegalsari didirikan oleh
kyai hasan besari pada pertengahan abad 11 hijriah, yang dimana pesantren ini
juga mendapat dukungan dari kesultanan Surakarta jawa tengah.
Diantara kitab-kitab yang kami dapat
tersebut diantaranya adalah kitab almuharror, alminhaj, syarh assittina
mas’alah, dan fathul qorib yang kesemuanya adalah kitab-kitab fikih dalam
madzhab syafi’i. Juga kitab-kitab karangan ‘ulama madzhab lain akan tetapi
bukan dalam masalah fikih seperti ummul barohin karangan assanusi dalam aqidah
asy’ariyah, beliau bermadzhab maliki, sedang dalam fan adab akhlaq kebanyakan
adalah kitab-kitab yang ditulis oleh abul laits assamarqodi yang bermadzhab
hanafi seperti tambihul ghofilih, bustanul ‘arifin, addurotul fakhiroh dan lain-lainnya,
bahkan waqila/konon ada kitab-kitab besar seperti ihya’u ulumiddin dan attuhfah.
Dari persesuaiannya pengajaran keilmuan
dalam selang waktu yang lama dan realitas mayoritas masyarakat nusantara yang
bermadzhab syafi’i, serta faktor budaya dan arsitektur, maka kita akan
menemukan titik temunya di pesisir barat india, dari Gujarat di utara hingga
Malabar/kerala di selatan. Ini kita bisa memakluminya, karena selat malaka di
nusantara merupakan rute jalur perjalanan laut yang merupakan perlintasan para
pedagang maupun muhibah lainnya dari cina ke india dan arab maupun sebaliknya.
Ibnu bathuthoh juga mendapati orang-orang
jawa/nusantara di cina dan Malabar, bahkan bertemu utusan kesultanan samudera
pasai untuk sultan dehli di dehli.
Kesultanan samudera pasai sudah bersambung
dengan kesultanan bani rosul di yaman terlebih dahulu sebelum masyarakat india, sebagaimana surat yang dikirimkan oleh
para pembesar kalkutta kepada sultan alasyraf dari bani rosul pada tahun 795 telah menyebutkan akan hal tersebut.
Syafi’iyyah di yaman dan hijaz
Madzhab syafi’i mengawali kejayaannya di wilayah
sebelah utara, tepatnya di jalur sutra, banyak para ashhabul wujuh atau para
perintis madzhab syafi’i yang muncul dari sana, assubki menjelaskan bahwa
baghdad hingga ke timur di negeri-negeri khurosan bahkan sampai mendekati cina,
kesemua masyarakat muslimnya bermadzhab syafi’i, ini tiada lain karena jasa
perdana menteri kerajaan saljuk yaitu nizhomul mulk yang pada tahun 457 mendirikan
madrasah syafi’iyyah annidzomiyah di kota baghdad, kemudian naisabur, hiroh,
ishfahan, bashroh, mousul, marwa dan thibristan, sampai nanti jangiz khan serta
pasukannya menghancurkannya.
Sedang di wilayah selatan, madzhab syafi’i
mengalami kemajuan karena jasa sultan sholahuddin al-ayyubi, pada tahun 569-648
beliau mendirikan kesultanan al-ayyubiyah di kairo dan menerapkan hukum sesuai
madzhab syafi’i diseluruh mesir yang sebelumnya adalah syi’ah isma’iliyah,
merubah sistem pengajaran di madrasah al-azhar yang nantinya akan mengeluarkan ulama
yang masyhur seperti syaikhul islam zakaria al-anshori.
Pada tahun yang sama al-ayyubi memasuki
hijaz dan enam tahun kemudian ke yaman, menguasainya sebagai bagian dari
kesultanan al-ayyubiyah di mesir dan memusatkan pemerintahannya di yaman,
sehingga hukum, madrasah, kepemimpinan masjid, semuanya mengikuti madzhab
syafi’i. assubki mengatakan: semenjak itu, khutbah di masjid nabawi, maupun
sholatnya mengikuti madzhab syafi’i. sedang di yaman, beliau mengatakan: secara
umum penduduk yaman adalah bermadzhab syafi’i, tidak ditemukan selain syafi’i kecuali
ada sebagian zaidiyah. Meskipun kepemimpinan lokal makkah tetap di pegang para
syarif (keturunan Nabi) dari keturunan musa aljun yang berfaham syi’ah zaidiyah, akan tetapi mereka
tunduk kepada aturan yaman dan mesir.
Sebelumnya yang berkembang di hijaz dan yaman
adalah madzhab maliki dan hanafi, bermadzhab maliki karena madinah merupakan
pusat mengajaran imam malik dan karena kitab muwatho’-nya yang merupakan kitab
awal yang bisa dipelajari dan madzhab hanafi karena pengaruh daulah ‘abbasiyah
yang menguasainya.
Di hijaz yang mengawali mengamalkan
madzhab syafi’i adalah orang-orang keturunan suku quraisy terutama dari
kalangan keluarga jauh imam syafi’i sendiri, kemudian ada seseorang diantara
mereka yang bernama alqosim bin muhammad aljumahi alqurosyi, setelah menuntut
ilmu ke makkah dan madinah bahkan sampai ke baghdad sebagai pusat pembelajaran
syafi’iyah, mapun kepada ulama yaman sendiri, kemudian beliau mendirikan
madrasah syafi’iyah di kota sahfanah, yang mana madrasah ini merupakan madrasah
pertama di yaman, banyak keluaran dari madrasah ini bahkan yang termasyhur
adalah yahya bin abil khoir al’umroni pengarang syarh almuhadzdzab, bahkan
berkat al’umroni, madzhab syafi’i tersebar ke penjuru yaman bahkan sampai ke
syam.
Perkembangan madzhab syafi’i yang pesat di
yaman disebabkan kelebihan mereka yang mempunyai madrasah, sedang pengajaran
madzhab-madzhab lain sebelumnya hanya dilakukan di masjid-masjid. Juga karena
ikatan emosional dimana asysyafi’i sendiri pada umur 30an pernah ke yaman,
tepatnya di kota najron, meskipun kedatangan beliau tersebut kesana hanya untuk
tujuan bekerja sebagai staf hukum pada qodhi mush’ab alqurosyi, kemudian beliau
menikah dengan seorang wanita penduduk kota shon’a.
Semenjak al-ayyubi menguasai yaman dan
menggantikan kekuasaan syi’ah zaidiyah disana sebelumnya, makin semakin berkembanglah
syafi’iyyah disana, bahkan pada tahun 594, sultan mu’izzuddin isma’il bin
tughtikin mendirikan madrasah syafi’iyyah al-mu’izziyah di zabid, yang
sebelumnya juga mendirikan madrasah as-saifiyah di ta’iz pada tahun 593. Tidak
ketinggalan pula wakilny yaitu al-atabik sanqor juga mendirikan madrasah al-atabikiyah
di abin.
Setelah pergantian kekuasaan yaman dan
makkah berganti dari kesultanan al-ayyubiyah kepada kesultanan bani rosul atau
arrosuliyah pada tahun 626. Para penguasa bani rosul bahkan semakin bersemangat
lagi untuk memperhatikan dunia pengajaran, majlis-majlis pengkajian keilmuan
semakin digalakkan, bahkan setidaknya tercatat ada 235 madrasah dan juga masjid
yang telah didirikan selama penguasaan bani rosul di berbagai kota di yaman dan
juga makkah, diantaranya sultan nuruddin almanshur yang mendirikan 6 madrasah
syafi’iyah, yaitu almanshuriyah di zabid, alghurobiyah dan waziriyah di ta’iz,
di aljundi dan almansakiyah, dan almanshuriyyah dijadikan sebagi madrasah
tingginya. Pada tahun 701, almu’ayyad mendirikan madrasah syafi’iyyah di ta’iz.
Madrasah lainnya adalah almujahidiyah ta’iz, asysyamsiyah di ta’iz yang
didirikan anak sultan manshur, alafdholiyah di ta’iz, ashsholahiyah yang
didirikan oleh ibu sultan mujahid, annidzomiyah yang didirikan oleh wakilnya
sultan almanshur, alwatsiqiyah, alasyrofiyah, al’afifiyah, assabiqiyah yang
didirikan oleh istrinya sultan mudzoffar, abbas taghlabi, attajiyah, ummu ‘afif,
hakkariyah, fatiniyah, jauhar, mika’iliyah, arroimiyah yang didirikan seorang
ulama arroimi pengarang alma’aniyul badi’ah dan syarh attambih lisy syairozi, jabrotiyah
yang didirikan di zabid oleh seorang ulama syafi’iyah juga bernama syaikh
isma’il alhasyimi aljabroti yang kemudian kepemimpinannya diteruskan oleh para
keturunannya, alfurhaniyah, yaqutiyah, albadriyah, dan lain-lainnya. Diantara
yang dibangun di makkah adalah cabang almanshuriyah, almujahidiyyah dan
al-afdholiyah, sedang yang terakhir dibangun oleh sultan al-malikuz dzohir
yahya bin al-asyrof yang mendirikan madrasah adzdzohiriyah di ta’iz.
Semua madrasah tersebut khusus mengajarkan
kitab-kitab syafi’iyyah seperti karangannya asysyairozi, alghozali, alqozwaini,
ibnul muqri, annawawi, alashbahi dan al’umroni. Ada pula beberapa madrasah yang
didirikan pemerintah yang mengajarkan madzhab hanafi atau juga khusus hadits,
akan tetapi sedikit.
Sedang kekuasaan ayyubiyah di mesir dan
syam digantikan oleh daulah mamalik dari asia tengah yang bermadzhab hanafi.
Dahulu alazhar yang milik syi’ah ditutup oleh sultan sholahuddin alayyubi,
dihidupkan kembali oleh sultan mamalik baibaros pada tahun 658.
Tidak hanya urusan dalam negeri,
kesultanan arrosuliyah juga mengembangkan pelabuhan-pelabuhan yang ada di aden sebagai
jalur perdagangan dan juga diplomasi keluar negeri seperti india, cina, mesir
dan afrika timur, dimana sebelumnya bahwa pelabuhan aden pertama didirikan oleh
sultan tughtikin dari kesultanan al-ayyubiyah, kemudian diteruskan oleh anaknya
yaitu sultan isma’il.
Yang paling awal adalah kedatangan utusan
diplomat dari cina di masa sultan almudzoffar, ketika sultan mendengar berita
bahwa raja cina melarang kaum muslim di sana untuk berkhitan, maka beliau
mengirim surat supaya raja cina mencabut larangannya tersebut dengan membawa
berbagai macam hadiah, kemudian akhirnya raja cina mengabulkannya dan
memberikan izin warganya yang muslim untuk berkhitan.
Kemudian setelah itu datanglah utusan dari
masyarakat muslim mappila di kota thana kannur Malabar yang meminta kepada
sultan almudzaffar 647-694 untuk
dikirimkan seorang ulama yang faqih yang bisa mengarahkan masyarakat di sana,
maka sultan memilih seorang ulama terbaiknya
bernama zainuddin husain bin Muhammad bin ‘adnan seorang imam masjid
zanjabil aden untuk diutus kesana. Kemudian pada tahun 768 datang utusan dari
cambay dan sultan dehli kepada sultan al-afdhol, dan pada tahun 770 dari calkutta.
Kemudian pada tahun 800, datang utusan dari caylan/sri langka kepada sultan
annashir.
Akhirnya pada tahun 795 datang utusan dari qodhi calkutta baha’uddin dan juga
pimpinan para pedagang disana seperti yusuf alghussani, ‘ali alqowi, zain ‘ali
arrumi, syeikh ‘ali alardabili, mas’ud, ahmad alhuri dan lainnya kepada sultan
alasyraf, untuk tunduk dan patuh ke yaman serta minta diizinkan mendo’akannya ketika
khutbah jum’at, kemudian beliau menerima permintaan tersebut.
Syafi’iyyah di india
Islam masuk ke india pertama kali melalui
jalur utara oleh para pemimpin kabilah turki di asia tengah, mulai dari
penguasa alghoznawi dan alghuri yang menguasai persia, Afghanistan, hingga
Punjab india, sampai pada tahun 548 quthbuddin aibak mendirikan kesultanan
dehli di india, kesultanan ini berkembang hingga ke ma’bar tamil, dan
pengaruhnya hingga ke ceylan/sri lanka, dehli mengikuti daulah abbasiyah di baghdad
dan mereka bermadzhab hanafi.
Sedang madzhab syafi’i pertama kali dibawa
oleh orang-orang persia yaitu ketika daulah bani saljuk menggantikan kekuasaan
ghoznawi di Persia, yakni pada sekitar tahun 530an sultan saljuk yaitu ahmad
sanjar mengirim 60ribu pasukan berkuda dibawah pimpinan panglima alif khan
untuk menguasai kota anhilwara gujarat, bersama mereka adalah seorang ulama
yang bernama syeikh ya’qub bin ahmad annaisaburi annaharwali, seorang pengajar
madrasah annidzomiyah. Setelah kota tersebut dapat dikuasai, mereka menetap
disana selama 5 tahun, yaitu hingga sang panglima beserta pasukannya diminta
pulang ke persia karena ada serangan dari mughol, sedang syeikh sendiri tetap
berada disana untuk berda’wah, mendirikan masjid dan mengajar sampai akhir
hayat.
Mulai saat itu madzhab syafi’i berkembang
di Gujarat hingga keselatan sampai ke wilayah malabar/kerala, terlebih lagi
dengan adanya pelabuhan hurmuz di teluk persia yang menghubungkan para pedagang
persi dengan pelabuhan-pelabuhan di barat india, sehingga karena sebab itulah
masyarakat muslim di pesisir barat india tersebut rata-rata mengangkat qodhi/pemimpin
agama dari orang-orang persia, banyak orang-orang persia yang membuka
zawiyah-zawiyah atau tempat-tempat suluk para sufiyah, banyak juga dari para
pemuda india yang akhirnya belajar ke annidzomiyah di persia kepada para
sahabatnya abu ishaq asy-syairozi dan alqusyairi, seperti muhammad bin alma’mun
almathu’i allahori 603.
Setelah hubungan india dengan yaman
berkembang, terutama di masa daulah arrosuliyah, maka banyak dari orang india
yang ke yaman bahkan sampai ke makkah untuk tujuan dagang, belajar dan haji,
diantaranya yang termasyhur adalah syaikh shofiyuddin muhammad bin abdurrohim
al-hindi alarmawi yang pada tahun 667 pergi ke zabid yaman untuk belajar dan sultan
mudhoffar sangat menghormatinya, kemudian beliau ke makkah, mesir dan damaskus.
Diantaranya pula yaitu syeikh zainuddin romadhon bin qodhi musa bin qodhi ibrohim
asysyaliyati almalibari, yang pada sekitar tahun 765 beliau belajar ke makkah
kepada alyafi’i, setelah pulang beliau mengajar dan menjadi qodhi di kota salem
dan kalkutta. Nanti, anak beliau yang bernama abu bakar merupakan guru dari
zainuddin almalibari pengarang qosidah hidayatul atqiya’ dalam ilmu tasawwuf
dan ahmad almalibari pengarang fathul mu’in dari kota ponnani yang merupakan
ulama termasyhur hingga saat ini.
Banyak pula orang-orang arab yang pergi ke
india untuk berda’wah seperti seorang ulama syafi’iyyah dari mesir yaitu syeikh
fariduddin al’udi bersama muridnya yaitu syamsuddin yahya al’udi 747 dan ‘alauddin
al’udi annaili 762 menjadi tamu kehormatan bagi kesultanan dehli, menjadi qodhi
dan mengajar di dehli. Banyak juga para ulama keturunan quraisy dari makkah dan
yaman yang datang ke india seperti ‘alauddin almuha’imi alkaukani alqurosyi
yang datang ke gujarat sekitar akhir abad ke tujuh pula.
Masyarakat muslim dipesisir barat india mulai
dari Gujarat hingga Malabar adalah bermadzhab syafi’i kecuali setelah nanti wilayah-wilayah
tersebut, Gujarat sampai kota mangalore diselatan mendekati wilayah Malabar,
dikuasai kesultanan dehli yang bermadzhab hanafi, maka berkembang pula madzhab
hanafi, juga di wilayah tenggara di ma’bar/tamil yang dikuasai kesultanan
madurai yang merupakan bawahan dehli, hingga pengaruhnya sampai ke ceylan/sri
lanka, sedang masyarakat muslim maldev bermadzhab maliki yang nanti berganti
syafi’i.
Sebagaimana menurut ibnu bathuthoh,
masyarakat muslim pesisir barat india sangat ta’at beragama, aktif sholat
berjama’ah dalam masjid yang megah-megah, mengkaji fiqih disana dan diantara
kekhususan mereka adalah rata-rata
mereka menghafal qur’an. Selain di masjid, banyak juga madrasah-madrasah
didirikan terutama untuk para wanita dan anak-anak, dikota honavar saja, ibnu
bathuthoh melihat ada 36 madrasah dibangun.
Masyarakat muslim di pesisir barat india
hidup tanpa kekuatan politik penguasa, karena mereka berada dibawah kekuasaan
kerajaan hindu vijayanagara yang kemudian diserang oleh kesultanan dehli,
selain malabar yang tetap dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil hindu seperti
zamorin dan cochin dan lainnya hingga nanti dikuasai oleh kesultanan mysore
dibawah haider ali dan tipu sultan. Akhirnya mereka mengikuti daulah bani
saljuk dan mendo’akan sultan ahmad sanjar dalam khutbah-khutbah mereka sebagai
bukti ketundukan mereka kepada saljuk. Setelah kemunduran bani saljuk di tahun
552 mereka mengikuti penguasa penerusnya di Persia yaitu daulah keluarga
al-mudzoffar atau almudzoffariyyah dan daulah hurmuz di teluk Persia yang
merupakan bagian dari almudzoffariyah. Setelah almudzoffariyah di serang timur
lenk pada tahun 795, maka qodhi dan para pimpinan pedagang di calkutta berkirim
surat kepada sultan alasyraf di yaman, dimana mereka ingin tunduk dan taat
kepada yaman dan meminta izin menyebut nama sultan dalam khutbah-khutbah
mereka, akhirnya sultan berkenan dan dimulailah babak baru hubungan muslim
india dengan yaman.