Beberapa tahun belakangan ini kita sering mendengar, menyimak dan membaca bahwa kitab-kitab para ‘ulama terdahulu yang menjadi rujukan kaum muslimin telah banyak dirubah, orang-orang menuduhkannya kepada wahhabi sebagai pelakunya, wahhabi adalah penyebutan untuk para pengikut muhammad bin abdulwahhab an-najdi atau yang sefaham dengannya oleh orang-orang yang tidak sependapat dengan faham mereka, orang-orang tersebut mengatakan bahwa wahhabi telah merubah kitab-kitab terdahulu agar sesuai dengan pemahaman mereka. Kalau kita runut ke belakang, kita bisa mengetahui bahwa tuduhan ini pertama kali muncul ketika ada kabar bahwa kitab al-ibanah ‘an ushulid diyanah atau nama lainnya at-tabyin ‘an usulid diyanah karangannya abulhasan al-asy’ari, seorang ahli kalam peng-asas madzhab asy’ariyyah, yang ada sekarang ini telah terjadi banyak perubahan disana sini, dari segi pengurangan maupun penambahan
Kabar ini disampaikan oleh syeikh muhammad zahid al-kautsari, seorang wakil mufti daulah utsmaniyyah di turki, dalam catatannya terhadap kitab “tabyini kadzibil muftari” yang diterbitkan oleh sebuah percetakan di damasqus dan kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit darul kitabil ‘arobi beirut, beliau mengatakan: naskah al-ibanah yang dicetak di india merupakan lembaran nakah yang telah berubah karena ulah tangan-tangan yang berdosa, maka wajib mencetaknya ulang dari asal yang terpercaya. Dia juga mengatakan dalam catatannya terhadap kitab “isyarotul marom”: Kitab al-ibanah telah dicetak bukan dari asal yang terpercaya. Kemudian hammad as-sinan dan fauzi al-‘anjazi dalam buku mereka “ahlus sunnah asya’iroh” telah mengisyaratkan bahwa yang melakukan ini adalah oknum dari kalangan hanabilah (pengikut ahmad bin hambal), mereka menguatkan pendapat mereka dengan mengetengahkan kisah dari kitab siyar a’lamin nubala’ dan al-wafi bil wafiyat bahwa ketika imam asy’ari mengarang kitab al-ibanah, telah ditolak oleh sebagian orang hanabilah yang fanatik.
Kitab al-ibanah yang dimaksud al-kautsari di atas adalah alibanah yang diterbitkan oleh percetakan majlis da’irotulma’arif annidzomiyyah alka’inah di haiderabad pakistan, diterbitkan pertama kali pada tahun 1905 masehi, kitab tersebut ada pada kami yang dengan memohon taufiq dari Alloh dengan izin-Nya akan kita bandingkan dengan terbitan-terbitan lainnya yang ada pada kami, seperti alibanah yang diterbitkan oleh darul anshor mesir yang ditahqiq oleh doktor fauqiyyah husein mahmud, juga yang diterbitkan oleh maktabah darul bayan suriah bekerja sama dengan maktabah al-mu’ayyad saudi dengan tahqiq basyir muhammad ‘uyun, terbitan jami’ah islamiyyah madinah dengan tahqiq hammad al-anshori, terbitan maktabah ibnu abdil ‘aziz riyadh dengan tahqiq al-‘ushoimi, terbitan darubni zaidun Beirut dan darul kutubil ‘ilmiyyah Beirut dan dengan yang masih dalam bentuk tulisan tangan yaitu tulisan abdurrahman bin muhammad sa’id al-farisi yang tersimpan di perpustakaan darulkutub almishriyyah mesir dan maktabah jami’ah riyadh, juga akan kita bandingkan pula dengan kitab-kitab lain yang telah menukil kitab al-ibanah , seperti kitab tabyinu kadzibil muftari-nya ibnu ‘asakir, majmu’ fatawa-nya ibnu taimiyyah, bayani talbisil jahmiyyah-nya ibnu qoyyim dan kitab al’uluww lil’aliyyil ghoffar dan kitabul ‘arsy-nya adz-dzahabi.
Sedang penelitian dengan melakukan perbandingan melalui naskah/manuskrip lama telah dilakukan oleh doktor fauqiyyah ketika mentahqiq kitab al-ibanah yang kemudian diterbitkan oleh darul anshor mesir, dalam perbandingannya beliau menggunakan 4 naskah yaitu yang ada pada maktabah baladiyyah iskandariyah, maktabah revan koushk turki, maktabah alazhar dan maktabah darulkutub almishriyyah. .
Kami sebutkan diantaranya pada bab “إبانة قول أهل الزيغ والبدعة” dari kitab al-ibanah yang diterbitkan haiderabad tertulis “وأنكروا أن يكون له عينان“,
Dalam penggunaan lafadz ‘ain atau mata menggunakan sighot tatsniyyah yang menunjukkan arti dua, tulisan ini sama dengan kitab ibanah yang di tahqiq oleh doktor fauqiyyah, tahqiqan al-‘ushoimi, terbitan darulkutubil ilmiyyah dan tulisan abdurrahman al-farisi, juga sebagaimana yang dinukil oleh ibnu taimiyyah dalam kitabnya “bayani talbisil jahmiyyah”. Sedang dalam tahqiqan basyir ‘uyun dan terbitan darubnu zaidun tertulis “وأنكروا أن يكون له عين“, ini sesuai dengan apa yang dinukil ibnu ‘asakir dalam kitabnya “tabyini kadzibil muftari”.
Dalam bab "إبانة قول أهل الحق والسنة" terbitan haiderabad tertulis “وأن له عينين بلا كيف”,
Ini sama dengan tahqiqan doktor fauqiyyah, tahqiqan al-‘ushoimi dan terbitan darulkutubil ilmiyyah, juga dalam nukilan ibnu taimiyyah dalam fatawa-nya, ibnu qoyyim dalam “ijtima’ul juyusy”, “bayanu talbisil jahmiyyah” dan “showa’iqul mursalah” dan adz-dzahabi dalam “al-‘uluww”, dalam tulisan Abdurrahman al-farisi mendekati kesamaan yaitu tertulis “وأن له عينان بلا كيف”, sedang dalam tahqiqan basyir muhammad ‘uyun, hammad al-anshori dan terbitan darubnu zaidun tertulis “وأن له عينا بلا كيف”, ini sama dengan nukilan dalam tabyini kadzibil muftari.
Al-kautsari mengatakan dalam catatan-nya terhadap kitab al-asma’ wash-shifat miliknya al-baihaqi: tidak ada kata yang menunjukkan arti dua didalam alqur’an, tidak pula dalam sunnah, dan apa yang diriwayatkan dari abilhasan al-asy’ari tentang hal tersebut adalah dengan melihat secara keseluruhan dari kitab-kitabnya. Kemudian beliau menukil perkataan ibnu hazm dalam al-fashl fil milal: tidak boleh bagi seseorang mensifati Alloh dengan dua mata, karena hal tersebut tidak ada nash-nya. Perkataan senada ibnu hazm sampaikan pula dalam kitab al-muhalla-nya. Kemudian al-kautsari mengatakan: barang siapa mengatakan bahwa Alloh mempunyai dua mata, yang Dia melihat dengan keduanya, maka dia seorang musyabbih (menyerupakan Alloh dengan makhluq-Nya).
Kemudian pada bab “ذكر الإستواء على العرش” dari terbitan haiderabad tertulis “ان الله عز وجل مستو على عرشه”,
Ini sama dengan tahqiqan al-‘ushoimi, terbitan darubni zaidun, darulkutubil ‘imiyyah dan tulisan al-farisi, dalam nukilan adz-dzahabi dalam “al-‘uluww” dan “al-arsy”: “ان الله مستو على العرش”, dan dalam nukilan ibnu taimiyyah dalam “ijtima’ul juyusy”, rosail dan majmu’-nya: “إن الله مستو على عرشه”, sedang dalam tahqiqan doktor fauqiyyah tertulis “إن الله عز وجل يستوي على عرشه استواء يليق به من غير طول استقرار”, dan dalam tahqiqan basyir ‘uyun hampir sama cuma pada lafadz “استقرار” memakai al “الإستقرار”.
Masih dalam bab yang sama, pada terbitan haiderabat tertulis “أن الله تعالى منفرد بوحدانيته مستوٍ على عرشه”,
Ini sama dengan tahqiqan al-‘ushomi, terbitan darubni zaidun dan darul kutubil ‘ilmiyyah juga tulisan al-farisi dan nukilan ibnu taimiyyah dalam “bayanut talbis”, sedang dalam tahqiqan doktor fauqiyyah dan basyir ‘uyun tertulis “أن الله تعالى منفرد بوحدانيته مستو على عرشه استواء منزها عن الحلول والاتحاد”.
Seterusnya pada bab yang sama dalam terbitan haiderabad tertulis “وأنه مستوى على عرشه”,
Ini sama dengan terbitan darubni zaidun dan darul kutubil ‘ilmiyyah juga tulisan al-farisi, sedang dalam tahqiqan doktor fauqiyyah dan basyir ‘uyun tertulis “وأنه مستوى على عرشه سبحانه بلا كيف ولا استقرار”.
Kemudian syeikh al-kautsari menjelaskan dalam catatannya terhadap kitab al-ikhtilaf fil lafdzi milik ibnu qutaibah bahwa terdapat penyimpangan lain dari kitab al-ibanah dengan mengatakan: Dan diantara penyimpangan yang sangat aneh adalah apa yang telah disisipkan dalam sebagian naskah al-ibanah milik al-asy’ari sebagaimana yang juga telah disisipkan lainnya ke dalamnya. Ini yang dimaksud oleh al-kautsari:
Kemudian al-kautsari menjelaskan bahwa kata “أبا حنيفة” dalam riwayat yang pertama, telah diriwayatkan juga oleh al-bukhori dalam kitab “kholqu af’alil ‘ibad” dengan menggunakan kata “أبا فلان” dengan bentuk mubham atau tidak jelas siapa sebenarnya dia.
قال حماد بن أبي سليمان للثوري: أبلغ أبا فلان المشرك أني بريء من دينه، وكان يقول: القرآن مخلوق.
Kemudian penjelasan ini dikuatkan oleh hammad as-sinan dan fauzi al-‘anjazi bahwa dalam kitab al-ibanah tahqiqan doktor fauqiyyah setelah riwayat pertama terdapat tambahan sebagai berikut:
وحاشى الإمام الأعظم أبو حنيفة رضي الله عنه من هذا القون (الصواب: القول) بل هو زور وباطل فإن أبا حنيفة من أفضل أهل السنة.
kemudian setelah riwayat ketiga terdapat tambahan:
وهذا كذب محض على أبي حنيفة رضي الله عنه.
insyaAlloh kami akan menjelaskan bahwa penambahan ini menurut sebagian besar peneliti bukan merupakan bagian dari kitab al-ibanah.
Ada beberapa ‘ulama yang mengomentari anggapan bahwa telah terjadi penyimpangan terhadap kitab al-ibanah, diantaranya yang paling baik menurut kami adalah dari syeikh faishol bin qozar aljasim dalam bukunya “al-asya’irotu fi mizani ahlissunnah”, insyaAlloh kami akan meringkasnya dan memberikan sedikit tambahan.
Anggapan bahwa telah terjadi perubahan pada isi/redaksi kitab al-ibanah adalah tidak benar, ini dapat dibuktikan dari saling persesuaiannya diantara naskah-naskah lama yang ada, dari segi bab, pembahasan maupun lafadz-lafadznya, naskah-naskah tersebut juga sesuai dengan nukilan para ‘ulama dari al-ibanah, seperti al-baihaqi dalam al-i’tiqod, ibnu ‘asakir dalam attabyin, ibnu taimiyyah dalam annaqdhut ta’sis, alfatawa dan bayanu talbis, ibnul qoyyim dalam hasyiyah tahdzibis sunan, mukhtashor ashshowa’iq dan ijtima’ul juyush dan adzdzahabi dalam al-‘uluww dan al-‘arsy. Naskah tersebut juga sesuai dengan kitab-kitab al-asy’ari lainnya, seperti al-maqolat dan risalatun ila ahlits tsighor, sesuai dari segi permasalahan dan ketetapannya.
Perbedaan lafadz diantara naska-naskah tersebut, sebenarnya juga terdapat dalam banyak kitab lain, ini terjadi karena perbedaan naskah maupun periwayatnya, dan ini sebenarnya tidak menjadikan berubahnya arti, seperti pada salah satu naskah al-ibanah tertulis lafadz “’ain” dengan sighot mufrod (menunjukkan satu) dan pada naskah yang lain menggunakan shighot mutsanna (menunjukkan dua), maksud dari keduanya adalah sama, mufrodnya menunjukkan jenis sifat dan mutsannanya menunjukkan dzohirnya. Para ulama’ salaf tidak mempermasalahkan kedua shighot ini, terkadang mereka menggunakan salah satu diantara keduanya atau kedua-duanya, diantaranya disebutkan oleh ad-darimi dalam arroddu ‘alal marisi, ibnu khuzaimah dalam attauhid, allalika’i dalam assunnah dan lainnya, sedang albaihaqi dalam banyak kitabnya memilih menggunakan shighot mufrod, dan hadits yang menunjukkan hal ini adalah:
عن ابن عمر، قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إن الله لا يخفى عليكم إن الله ليس بأعور وأشار بيده إلى عينه وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى كأن عينه عنبة طافية. رواه البخاري
Dalam salah satu riwayat:
عن جابر بن عبد الله قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : ما من نبي إلا وقد حذر أمته الدجال ولأخبرنكم منه بشيء ما أخبر به أحد كان قبلي، ثم وضع يده على عينيه فقال: أشهد أن الله ليس بأعور. رواه الحاكم وابن منده في التوحيد بإسناد صحح
Dan dalam sebuah hadits marfu’ juga disebutkan:
عن عقبة بن عامر، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، يقول: "ربنا سميع بصير" وأشار بيده إلى عينيه. رواه الطبراني في الكبير وفيه ابن لهيعة وهو ضعيف ولكن له طرق فقال ابن حجر: وسنده حسن.
Al-asy’ari juga menggunakan dua bentuk shighot ini didalam banyak tempat dari kitabnya yang lain yaitu “al-maqolatul islamiyyin”;
قال الأشعري في مقالته: أن له عينين كما قال: ﴿ تجري بأعيننا ﴾.
وقال فيها أيضا: لسنا نقول في ذلك إلا ما قاله الله عز وجل أو جاءت به الرواية من رسول الله صلى الله عليه وسلم فنقول: وجه بلا كيف ويدان وعينان بلا كيف.
وقال: أن له عينين بلا كيف كما قال: ﴿ تجري بأعيننا ﴾.
وقال: أنكر (بعض المعتزلة) أن يقال أنه ذو عين وأن له عينين.
وقال: كان (المعتزلة) ينكر أن يقال للبارئ وجهاً ويدين وعينين وجنباً.
وقال: كان عباد ينكر أن يقال أن البارئ قائم بنفسه وأنه عين وأنه نفس وأن له وجهاً وأن وجهه هو هو وأن له يدين وعينين وجنباً.
Shighot mutsanna juga digunakan oleh beberapa ashhab (pengikut) al-asy’ari, diantaranya adalah al-baqilani dan imamul haromain;
قال الباقلاني في الإنصاف: العينين اللتين أفصح بإثباتهما من صفاته القرآن وتواترت بذلك أخبار الرسول عليه السلام، فقال عز وجل: ﴿ ولتصنع على عيني ﴾ و ﴿ تجري بأعيننا ﴾ وأن عينه ليست بحاسة من الحواس، ولا تشبه الجوارح والأجناس.
وقال في تمهيده: صفات ذاته هي التي لم يزال موصوفا بها، وهي الحياة والعلم والقدرة والسمع والبصر والكلام والإرادة والبقاء والوجه والعينان واليدان والغضب والرضى الخ.
وقال الجويني في الإرشاد: ذهب بعض أئمتنا إلى أن اليدين والعينين والوجه ثابتة للرب تعالى، والسيبل إلى إثباتها السمع دون قضية العقل، والذي يصح عندنا حمل اليدين على القدرة، وحمل العينين على البصر، وحمل الوجه على الوجود.
Perbedaan dua versi shighot dalam naskah al-ibanah ini bukan saja terdapat dalam naskah-naskah yang ada sekarang, bahkan telah ada sejak dahulu sebagaimana telah dinukil oleh para ‘ulama, seperti dalam nukilan ibnu ‘asakir yang menggunakan shighot mufrod dan ibnu taimiyyah yang menggunakan shigot mutsanna.
Perbedaan lainnya adalah dengan adanya penambahan pada beberapa naskah dalam menjelaskan sifat istiwa’ Nya Alloh, seperti:
- استواء يليق به من غير طول استقرار،
- استواء منزها عن الحلول والاتحاد،
- بلا كيف ولا استقرار،
sedang dalam naskah lainnya, lafadz-lafadz ini tidak ada, sebenarnya ini juga tidak menyebabakan berubahnya makna, karena tujuan lafadz ini adalah untuk menguatkan petunjuk tentang hakikat sifat istiwa’Nya Alloh.
Kemudian pada naskah maktabah baladiyyah iskandaria mesir yang kemudian dipilih oleh doktor fauqiyyah dalam tahqiqannya, pada bab “إبانة قول أهل الحق والسنة” terdapat tambahan tulisan sebagai berikut:
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله، وبالمعنى الذي أراده، استواء منزها عن الممارسة، والاستقرار، والتمكين، والحلول، والانتقال. لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته، ومقهورون في قبضته، وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى، فوقية لا نزيده قربا إلى العرش والسماء، بل هو رفيع الدرجات عن العرش، كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى، وهو مع ذلك قريب من كل موجود، وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد، وهو على كل شيء شهيد.
Dalam semua naskah kuno/manuskrip yang ada, kecuali yang ada pada naskah maktabah baladiyyah ini, kesemuanya tidak ada yang menyebutkan tambahan ini, tulisan ini menurut mayoritas peneliti bukan merupakan bagian dari kitab al-ibanah, akan tetapi merupakan tulisan al-ghozali dalam banyak kitabnya seperti qowa’idul ‘aqoid, al-arba’in”, ihyau ‘ulumiddin dan attabarrul masbuk, ini dikuatkan dari nukilan ibnu ‘asakir dalam tabyin-nya dan ibnu taimiyyah dalam fatawa-nya.
Kemudian masih banyak lagi tambahan-tambahan dalam naskah maktabah baladiyyah yang tambahan tersebut dipilih oleh doktor fauqiyyah dalam tahqiqannya, sebagiannya telah kami sebutkan dalam periwayatan abu hanifah, dan sebagiannya lagi terdapat tambahan seperti berikut:
dan masih banyak penambahan lainnya, yang sebenarnya doktor fauqiyyah meragukan hal ini, beliau mengatakan dalam muqoddimahnya: wajib memperhatikan penambahan-penambahan yang ada didalamnya (naskah baladiyyah), ini dibutuhkan pemeriksaan yang sangat cermat, karena ada pendapat bahwa yang tercantum ini merupakan kata-kata lain yang disisipkan, sangat jelas bahwa penambahan ini tidak benar untuk menguatkan faham salaf, seperti pada halaman 81 disebutkan “al-qohr” dan “al-qudroh” untuk menafsiri kata “istiwa’”, penjelasan ini menyelisihi anggapan ini dan sangat jelas bahwa ini merupakan perbuatan tangan salah satu pembaca tulisan (asli al-ibanah) tersebut yang condong kepada mu’tazilah, sedang orang-orang waktu itu tidak tahu terhadap permasalahan yang sebenarnya. Demikian kata fauqiyyah, lantas timbul pertanyaan, kenapa beliau tetap mencantumkannya, beliau menjelaskan bahwa naskah baladiyyah tersebut beliau jadikan rujukan utama untuk mentahqiq kitab al-ibanah karena naskah baladiyyah tersebut dari segi tulisannya sangat bagus, utuh tidak ada yang sobek dan lafadz-lafadznya disusun secara rapi.
Terakhir tentang riwayat abu hanifah yang pernah mengatakan alqur’an makhluq, sebenarnya selain al-asy’ari, banyak ‘ulama lain juga meriwayatkan yang sama, seperti albukhori dalam attarikhul kabir dan kholqu af’alil ‘ibad, abdulloh bin ahmad dalam assunnah, al’uqeili dalam adh-dhu’afa, al-lalikai dalam assunnah, ibnul ja’di dalam almusnad dan al-khothibul baghdadi dalam tarikhu baghdad. Jadi tidak benar kalau telah terjadi penyimpangan pada kitab al-ibanah karena riwayat ini, meskipun riwayat dari abi hanifah ini perlu di cek keshohihannya, beliau mengatakan dalam alfiqhul akbar:
وصفاته في الأزل غير محدثة ولا مخلوقة، ومن قال إنها مخلوقة أو محدثة او وقف او شك فيهما فهو كافر بالله تعالى، والقرآن كلام الله تعالى، في المصاحف مكتوب، وفي القلوب محفوظ، وعلى الألسن مقروء، وعلى النبي عليه الصلاة والسلام منزل، ولفظنا بالقرآن مخلوق، وكتابتنا له مخلوقة، وقراءتنا له مخلوقة، والقرآن غير مخلوق، وما ذكره الله تعالى في القرآن حكاية عن موسى وغيره من الأنبياء عليهم السلام وعن فرعون وابليس فإن ذلك كله كلام الله تعالى إخبارا عنهم، وكلام الله تعالى غير مخلوق، وكلام موسى وغيره من المخلوقين، والقرآن كلام الله تعالى فهو قديم لا كلامهم، وسمع موسى عليه السلام كلام الله تعالى كما في قوله تعالى {وكلم الله موسى تكليما}، وقد كان الله تعالى متكلما ولم يكن كلم موسى عليه السلام، وقد كان الله تعالى خالقا في الأزل ولم يخلق الخلق، فلما كلم الله موسى كلمه بكلامه الذي هو له صفة في الأزل، وصفاته كلها بخلاف صفات المخلوقين، يعلم لا كعلمنا، ويقدر لا كقدرتنا، ويرى لا كرؤيتنا، ويتكلم لا ككلامنا.
Tentang riwayat-riwayat yang disampaikan al-asy’ari, pada riwayat pertama terdapat abu nu’aim dan sulaiman bin ‘isa al-qori atau sulaim bin ‘isa al-muqri’, pada riwayat kedua terdapat sufyan bin waki’, kesemuanya lemah, sedang riwayat ketiga dan keempat sanadnya terputus dan yang lebih shohih adalah yang diriwayatkan oleh adz-dzahabi dalam kitab al-‘uluww:
عن علي بن الحسن الكراعي، قال: قال لي أبو يوسف: ناظرت أبا حنيفة ستة أشهر، فاتفق رأينا على أن من قال: القرآن مخلوق، فهو كافر.
juga oleh al-baihaqi dalam al-i’tiqod dan al-asma’:
عن محمد بن سابق، قال: سألت أبا يوسف، فقلت: أكان أبو حنيفة يقول القرآن مخلوق؟ قال: معاذ الله، ولا أنا أقوله، فقلت: أكان يرى رأي جهم؟ فقال: معاذ الله ولا أنا أقوله.
Dari kesemua riwayat diatas tidak ada yang menunjukkan bahwa abu hanifah pernah berpandangan al-quran adalah makhluq dan ini semua tiada lain hanya timbul dari akibat dakwahan alkautsari semata yang dimana beliau terlalu fanatik kepada abu hanifah.
Demikian yang dapat kami sampaikan, diatas setiap perbedaan yang ada, kami berdo’a semoga Alloh membalas setiap niat baik yang telah diusahakan oleh para ‘ulama kita dan dima’afkan atas setiap kealpaan. Setiap perbedaan ada rohmatnya, kita berdoa semoga Alloh berikan hidayah kepada kita kepada jalanNya yang lurus dan Dia kuatkan kaki kita diatas jalanNya tersebut, Aamiin.