Ketika kita berbicara tentang pengikut madzhab syafi’i maka kita tidak bisa melepaskan dari aqidah asy’ariyyah, karena bisa di maklumi bahwa madrasah-madrasah syafi’iyyah diseluruh dunia hampir rata-rata mengajarkan madzhab asy’ariyyah dalam fan aqidahnya, di utara dari wilayah syam hingga kaukasus, di selatan dari wilayah afrika timur, yaman, sepanjang pesisir asia selatan hingga asia tenggara. Bahkan para ‘ulama nya yang saat ini masih bisa menulis kitab fikih dalam madzhab syafi’i seperti syeikh abdulloh al-habasyi juga ber-aqidah asy’ariyyah, termasuk juga orang-orang asy’ari yang sampai pada tingkatan ‘alim seperti syeikh sa’id faudah, madzhab fikihnya adalah syafi’i.
Keluarga besar ba ’alawi di hadhromaut yaman, yaitu keturunan ahmad bin ‘isa al-muhajir, mereka mengklaim bermadzhab fikih syafi’i dan ber-aqidah asy’ariyyah, meskipun klaim ini tidak seluruhnya benar karena ada diantara mereka yang ber-madzhab lain bahkan ada yang condong kepada syi’ah. Di malaysia dan brunei, kedua madzhab ini telah dijadikan faham resmi negara, begitu pula dalam organisasi-organisasi islam di indonesia, seperti nahdlotul ‘ulama, persatuan tarbiyah islamiyah, jam’iyyatul washliyyah, nahdhotul wathon dan mathla’ul anwar, mereka telah menjadikan kedua madzhab tersebut sebagai anggaran dasar organisasi mereka, meskipun dalam madzhab fikihnya mereka menyebut empat madzhab dan aqidahnya memakai kata umum yaitu ahlussunnah wal jama’ah, yang ahlussunnah disini maksudnya adalah asy’ariyyah dan maturidiyyah, penjelasan ini pernah dikritik oleh sa’id bin aqil siroj yang pada tahun ’97/'98 an dia mengusulkan kepada nahdlotul ‘ulama (NU) untuk memasukkan aqidah ahmad bin hambal ke dalam anggaran dasar organisasinya, karena menurutnya bahwa aqidah ahmad bin hambal termasuk dalam cakupan makna ahlussunnah wal jama’ah, akan tetapi usulan ini ditolak oleh pembesar-pembesar NU lainnya, bahkan ujung-ujungnya setelah sa’id aqil menjadi ketua NU beliau malah memusuhi aqidah ahmad bin hambal dan menjelek-jelekkannya dimuka umum hingga akhirnya dia membela syi’ah sampai hari ini, menurut kami mungkin keyakinan disisi beliau hanya sekedar wawasan atau menurut isthilah beliau sekedar manhajul fikr.
Keterkaitan hubungan antara orang-orang syafi’iyyah dengan faham asy’ari diawali dari abul hasan al-asy’ari sendiri, dimana beliau telah belajar fikih syafi’i kepada abu ishaq al-marwazi, ibnu surej dan al-qoffal asy-syasyi, tentang al-qoffal, as-subki mengatakan dalam thobaqotnya bahwa al-asy’ari belajar fiqih kepada al-qoffal, begitu pula al-qoffal juga belajar kalam dari al-asy’ari. Diantara murid-murid al-asy’ari lainnya dari kalangan syafi’iyyah adalah abu sahl ash-shu’luki, abu zaid al-marwazi, ibnu khofif, abu bakr al-isma’ili, as-sarkhosi dan lainnya. Waqila keterkaitan tersebut bahkan sebelum keberadaan al-asy’ari, yaitu dimana sebagian orang yang ber-intisab kepada asy-syafi’i seperti al-harits al-muhasibi, abul ‘abbas al-qolansi, abu ‘ali ats-tsaqofi, abu bakr ash-shobghi dan lainnya mengikuti metode ibnu kullab dalam memahami aqidah, yaitu metode kalam dengan menggunakan hujjah-hujjah akal untuk menguatkan aqidah ahlussunnahnya, dan al-asy’ari juga menggunakan metode ibnu kullab ini, metode kalam ibnu kullab paling mendekati sunnah dibanding yang lainnya seperti ilmu kalamnya mu’tazilah dan lainnya, ibnu kullab hampir sezaman dengan asy-syafi’i cuma lebih dahulu asy-syafi’i.
Diawal-awal perkembangannya, madzhab asy’ari hanya melalui mengajian-pengajian kecil yang tersebar antara negeri syam oleh abul hasan ath-thobari hingga ketimur di khurosan oleh ibnu faurok. Di timur sulit berkembang karena kurang disukai, bahkan dimasa al-baihaqi, madzhab asy’ari mengalami masa-masa sulit yaitu timbulnya fitnah asy’ariyyah, dimana sa’at itu negeri khurosan di kuasai oleh daulah bani saljuk yang di awal kepemerintahannya mereka tidak menyukai faham-faham yang menyimpang dari ahlissunnah, dan rajanya sa’at itu yaitu tughrul bik (hanafi) memerintahkan perdana menterinya yang bernama manshur al-kunduri (mu’tazili) untuk mencela orang-orang asy’ariyyah di atas mimbar-mimbar bersama dengan rofidhoh dan mu’tazilah, hingga menimbulkan kemarahan dari pihak asy’ariyyah, abu utsman ash-shobuni yang sa’at itu menjadi khotib akhirnya mengundurkan diri, bahkan mengakibatkan al-juwaini, al-qusyairi, al-iskaf dan lainnya meninggalkan negeri khurosan.
Peristiwa ini berlanjut hingga kepemimpinan bani saljuk diganti oleh alib arsilan dengan perdana menterinya nidzomul mulk, nidzomul mulk adalah orang yang sangat fanatik kepada madzhab asy’ari, sehingga beliau mengajak al-juwaini dan para shahabatnya diperantauan untuk kembali ke naisabur, kemudian dibangunkanlah untuk mereka madrasah nidzomiyyah disana dan baghdad, yaitu untuk para fuqoha’ syafi’iyyah yang ber’aqidah asy’ariyyah.
Madrasah nidzomiyyah merupakan madrasah pertama dalam islam yang dibangun oleh para penguasa dan dijadikan lembaga pendidikan resmi oleh pemerintah, termasuk fiqih syafi’i dan ‘aqidah asy’ariyyah yang oleh pemerintahan bani saljuk dijadikan kurikulum resmi pemerintah. Di masa nidzomul mulk, fiqih syafi’i bersama aqidah asy’ariyyahnya mengalami kemajuannya, bahkan salah seorang tokoh mereka yaitu al-fakhrur rozi diangkat menjadi ‘ulama kerajaan, sehingga abu syamah mengatakan tentang kekayaannya: ketika wafat dia meninggalkan delapan puluh ribu uang emas, itu belum termasuk binatang ternak, perkebunan dan lain-lainnya.
Fiqih syafi’i dan aqidah asya’iroh juga mendapat sokongan dari sholahuddin al-ayyubi di mesir, sehingga kedua faham ini bisa tersebar luas di mesir, syam, hijaz dan yaman. Terlebih lagi setelah madrasah al-azhar berpindah tangan dari kekuasaan sebelumnya yaitu syi’ah fathimiyyah, dikisahkan bahwa beliau menerima hadiah kitab aqidah dari abul ma’ali an-naisaburi, seorang pengajar di madrasah an-nidzomiyyah yang berada di naisabur sepeninggal al-juwaini. Sedang di maghribi dan andalusia faham ini disebarkan oleh ibnu tumarot yang memerintah daulah muwahhidun disana yang sebelumnya dia telah berguru kepada al-ghozali di timur, meskipun pada akhirnya dia berprilaku aneh dengan mengaku sebagai al-mahdi dan akan memperbaharui agama.
Kemudian pada puncaknya faham asy’ari mendapat dukungan dari daulah turki utsmani yang berfaham aqidah maturidiyyah dan bermadzhab fikih hanafi, sehingga kajian-kajian maupun penulisan-penulisan kitab asya’iroh kemudian berkembang materinya, yang dulunya khilafiyahnya hanya ada seputar salaf dan kholaf, kemudian meningkat menjadi perbandingan antara aqidah asy’ariyyah dan maturidiyyah.
Dari cerita diatas kita bisa mengetahui bagaimana orang-orang syafi’iyyah begitu terkait erat dengan faham asy’ari, kebesaran asy’ari tidak bisa dilepaskan dari peran madrasah an-nidzomiyyah yang telah di asaskan oleh al-juwaini dan para shahabatnya sehingga mengeluarkan orang-orang besar seperti al-ghozali dan lain-lainnya. Dari sini pula kita bisa mengetahui bahwa faham asy’ari yang menjadi kajian rata-rata orang syafi’iyyah adalah sebagaimana yang difahami oleh al-juwaini dan para shahabatnya yaitu metode kalam, atau kholaf menurut isthilah mereka yang berarti bahwa mereka berbeda dengan salaf, sehingga al-juwaini pernah mengatakan sebuah perkataan yang masyhur bahwa bahwa madzhab salaf lebih selamat dan madzhab kholaf lebih pintar dan lebih bisa dijadikan ketetapan. Orang-orang yang fanatik kepada al-juwaini mengatakan bahwa beliau seorang pembaharu dan yang bisa menjelaskan dan menjabarkan perkataan-perkataan asy-syafi’i sebagaimana dalam kitab nihayah-nya dan perkataan-perkataan al-asy’ari khususnya dalam kedua kitab nya yaitu asy-syamil dan al-irsyad sebagai ringkasan dari asy-syamil.
Al-juwaini dan lainnya seperti al-baihaqi, abul qosim al-qusyairi, ibnu kholaf dan lainnya mendapatkan faham ini dari ibnu faurok, dimana ketika ibnu faurok meriwayatkan perkataan-perkataan al-asy’ari, beliau hanya merujuk kepada kitab-kitab al-asy’ari yang condong kepada kalam dan tidak seperti risalatun ila ahlits tsighor, al-ibanah dan lainnya yang kitab-kitab ini lebih condong kepada salaf.
Dan ketika kita berbicara tentang madzhab asya’ari, kita akan mendapati beberapa periwayatan yang berbeda, ada yang condong kepada ilmu kalam seperti ibnu faurok ini, al-juwaini, al-ghozali, al-fakhr ar-rozi dan lainnya, dan telah kami sebutkan sebelumnya bahwa mayoritas dari mereka telah bertobat darinya. Ada yang condong kepada salaf seperti abu bakr al-isma’ili, abu utsman ash-shobuni, al-baghowi, adz-dzahabi, ibnu katsir dan lainnya. Ada yang berposisi pertengahan diantara keduanya seperti para ashhab syafi’i dari kalangan ahli hadits seperti al-baihaqi, an-nawawi, al-asqolani, as-suyuthi dan lainnya, atau bahkan diantara ashhab syafi’i tidak ada hubungannya sama sekali dengan madzhab asy’ari seperti al-imam asy-syafi’i sendiri, al-muzani, ar-robi’, al-buwaithi, ahmad bin hambal, abu tsaur, ibnu khuzaimah dan lainnya. insyaAlloh kami akan membahasnya satu persatu dari mereka, dan beberapa bagiannya sudah kami sebutkan sebelumnya.
>> muhammad bin muzani aljalawi asysyafi'i