Takbir muqoyyad adalah takbir yang
dibatasi waktunya, yaitu yang dilakukan setelah sholat-sholat fardhu khusus di
waktu ‘idul adhha, takbir ini dianjurkan sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ﴾.
البقرة: ٢٠٣
Artinya:
Berdzikir(ingat)lah kepada Alloh dihari-hari tertentu. Albaqoroh: 203
Ibnu
‘abbas, ibnu ‘umar, sa’id bin jubair, alhasan albashri, mujahid, assaddi,
adhdhohak, atho’ dan qotadah mengatakan bahwa hari-hari tertentu adalah
hari-hari tasyriq, perkataan ini disampaikan oleh malik, ma’mar bin mutasanna
dan ibnu rohawaih. Ini selaras dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam,
روى نبيشة عن النبي صلى الله عليه وسلم،
قال: أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
وَذِكْرٍ
لِلَّهِ. رواه مسلم
Artinya:
diriwayatkan dari nabisyah dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam,
Beliau bersabda: Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan ingat
kepada Alloh. HR. Muslim
Albaghowi
mengatakan: disebut yang dibatasi karena sedikitnya.
Alkhoththobi
mengatakan: hikmah disyari’atkannya takbir pada hari-hari tersebut karena
orang-orang jahiliyah dahulu menyembelih untuk sesembahan-sesembahan mereka di
waktu-waktu tersebut, maka disyari’atkanlah bertakbir di waktu tersebut sebagai
petunjuk untuk mengkhususkan penyembelihan hanya untukNya dan diatas namaNya.
Hari-hari tasyriq adalah hari dimana para
jama’ah haji diperintahkan untuk menghentikan bacaan talbiyah mereka dengan
diganti dengan bacaan takbir di setiap lemparan mereka terhadap jamarot,
قال تعالى: ﴿فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ﴾. البقرة: ٢٠٠
Alloh
berfirman: Jika kalian telah menyelesaikan manasik kalian maka bersegeralah
untuk mengingat Alloh. Albaqoroh: 200
Diriwayatkan
bahwa ‘umar bin alkhoththob berada di mina, beliau bertakbir didalam kemahnya
yang kemudian terdengar oleh orang-orang yang berada di masjid maka mereka ikut
pula bertakbir, terdengar pula oleh orang-orang yang berada di pasar maka
mereka ikut pula bertakbir, hingga mina menjadi gemuruh oleh suara orang-orang
bertakbir secara serentak.
waktu
Mereka dianjurkan untuk bertakbir yaitu
setelah sholat dzuhur dihari nahr tanggal 10 setelah mereka melaksanakan
melempar jumroh ‘aqobah, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat sebelumnya, hingga
setelah sholat shubuh di akhir hari-hari tayriq yaitu tanggal 13, karena ketika
mereka melakukan nafar tsani, sunnahnya melempar jumroh dilakukan setelah dzuhur
dan sholat dzuhurnya dalam nafar mereka dan tidak di mina. Annawawi mengatakan
bahwa para ‘ulama tidak berbeda pendapat dalam permasalahan ini.
Adapun bagi selain para jama’ah haji, para
‘ulama perbeda pendapat, yang pertama yaitu setelah sholat dzuhur hari nahar
sampai setelah sholat shubuh akhir hari tasyriq, orang-orang yang tidak berhaji
mengikuti ‘amalan para jama’ah haji, di’amalkan setelah 15 sholat fardhu, pendapat
ini diriwayatkan dari ibnu ‘umar dan ‘umar bin ‘abdul’aziz, dan ini adalah
pendapat malik dan yang masyhur dari asy-syafi’i dalam riwayat almuzani dan
albuwaithi dan dalam kesemua kitab beliau yang jadid maupun qodim, dan yang
dishohihkan oleh kebanyakan para ashhabnya dari generasi awal.
Pendapat yang kedua
yaitu setelah sholat dzuhur hari nahar sampai setelah sholat ashar akhir hari
tasyriq, pendapat ini diriwayatkan dari ‘utsman, ibnu ‘umar, zaid bin tsabit, sa’id
bin jubair, abu sa’id alhudzri, salah satu riwayat dari ibnu ‘abbas dan ibnu
‘umar, dan ini adalah pendapat azzuhri. ‘atho’ bin abi robah mengatakan: para
imam pertakbir setelah dzuhur hari nahar, mereka memulai takbir dari situ
sampai akhir di hari-hari tasyriq.
Yang ketiga yaitu setelah sholat dzuhur
hari nahar sampai setelah sholat dzuhur akhir hari tasyriq, pendapat ini
diriwayatkan dari yahya al-anshori.
Yang keempat yaitu setelah sholat shubuh
hari ‘arofah sampai setelah sholat ashar akhir hari tasyriq, setelah 23 sholat
fardhu, pendapat ini diriwayatkan dari ‘umar, ‘ali, ibnu ‘abbas, ibnu mas’ud
dan ‘abdulloh bin sa’id, ini adalah pendapat makhul, ats-tsauri, adh-dhohhak, ibnu
‘uyainah, abu yusuf, muhammad, asy-syafi’i dalam salah satu pendapatnya, ahmad
dan abu tsaur. Dan ini yang dipilih oleh almuzani, ibnu suraij dan annawawi
dari para ashhab syafi’iyyah, dishohihkan oleh annawawi dan diikuti oleh para
ashhab setelahnya, albaghowi mengatakan: ini adalah pendapat kebanyakan ‘ulama.
Yang kelima yaitu setelah sholat shubuh
hari ‘arofah sampai setelah sholat ‘ashar hari nahar, ibnu mas’ud dalam salah
satu pendapatnya, ‘alqomah, annakho’i dan abu hanifah.
Yang
keenam yaitu setelah sholat shubuh hari ‘arofah sampai dzuhur hari nahar, salah
satu riwayat dari ibnu mas’ud dan dikatakan oleh abu wa’il.
Yang ketujuh yaitu setelah sholat dzuhur
hari ‘arofah sampai ashar akhir taysriq, ini adalah salah satu riwayat dari sa’id
bin jubair, ibnu ‘abbas dan azzuhri, dan ini adalah pendapat dawud.
Yang kedelapan yaitu setelah sholat dzuhur
hari nahar sampai sholat ashar hari nafar pertama, ini adalah salah satu
riwayat dari ibnu ‘abbas dan alhasan albashri.
Yang kesembilan yaitu setelah sholat
dzuhur hari tasyriq pertama hingga dzuhur di hari tasyriq kedua, ini
diriwayatkan dari alhasan albashri.
Yang kesepuluh yaitu setelah sholat
maghrib malam hari nahar hingga ashar diakhir hari tasyriq, ini adalah salah
satu pendapat asy-syafi’i, khusus tentang imam asy-syafi’i, beliau mempunyai
tiga pendapat dalam masalah ini sebagaimana yang telah kami sebutkan, sedang
menurut abu ishaq almarwazi dan ibnu abi huroiroh bahwa asy-syafi’i hanya
mempunyai satu pendapat yaitu setelah dzuhur hari nahar sampai setelah sholat
shubuh akhir hari tasyriq, sedang pendapat setelah sholat maghrib malam hari
nahar, maksud asy-syafi’i adalah takbir muthlaq, dan pendapat setelah setelah
shubuh hari ‘arofah adalah bahwa beliau menceritakan tentang pandangan ‘ulama
lain. Sedang menurut abu ishaq almarwazi lainnya sebagaimana diceritakan oleh
alqodhi abuth thoyyib dari addariki, asy-syeikh abu ishaq mengatakan bahwa yang
ditetapkan oleh asy-syafi’i adalah setelah shubuh hari ‘arofah, karena beliau
menyebutkan dari sebagian salaf, beliau menyebutkan malam nahar sebagai qiyas
atas malam ‘idul fithri dan dzuhur hari nahar sebagai qiyas atas para jama’ah
haji.
Yang shohih dari kesemua diatas adalah
pendapat yang keempat yaitu setelah sholat shubuh hari ‘arofah sampai setelah
sholat ashar akhir hari tasyriq, diantara petunjuk yang menjelaskannya yaitu;
روى محمد بن أبى بكر الثقفي،
قال: سألت أنسا، ونحن غاديان من منى إلى عرفات، عن التلبية: كيف كنتم تصنعون مع
النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: كان يلبِّى الملبِّى لا ينكر عليه، ويكبِّر
المكبِّر فلا ينكر عليه. رواه البخاري ومسلم
Artinya: Diriwayatkan dari muhammad bin abi bakr ats-tsaqofi, dia
berkata: aku berkata kepada anas –waktu itu kami pagi-pagi berangkat dari mina
menuju ‘arofah- tentang masalah talbiyyah; Bagaimana yang kalian perbuat
bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam? Dia menjawab: ada yang bertalbiyah
dan Beliau tidak melarangnya, ada pula yang bertakbir dan Beliau pula tidak
melarangnya. HR. Bukhori dan Muslim
وعن ابن عمر، قال: كنا مع
رسول الله صلى الله عليه وسلم في غداة عرفة، فمِنَّا المكبِّر ومِنَّا المهلِّل،
فأمّا نحن فنكبِّر. رواه مسلم
Artinya: Dari ibnu ‘umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata: Kami
bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam di pagi hari ‘arofah, ada
diantara kami yang bertakbir ada pula yang bertahlil, sedang kami sendiri
mengumandangkan takbir. HR. Muslim
وعن جابر، قال: أن النبي
صلى الله عليه وسلم صلّى الصبح يوم عرفة، وأقبل علينا، فقال: الله أكبر الله أكبر،
ومد التكبير إلى العصر من آخر أيام التشريق. رواه الدارقطني والبيهقي بإسناد
ضعيف
Artinya: Dari jabir, dia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam telah melaksanakan sholat shubuh di hari ‘arofah, setelah itu Beliau
menghadap ke kami, kemudian mengucapkan: allohu akbar ullohu akbar, Beliau
terus bertakbir hingga waktu ‘ashar di hari akhir tasyriq. HR. adDaruquthni
dan albaihaqi dengan sanad dho’if.
وعن عليّ وعمار، قالا: أن
النبي صلى الله عليه وسلم كان يجهر في المكتوبات ببسم الله الرحمن الرحيم، وكان
يقنت في صلاة الفجر، وكان يكبِّر يوم عرفة من صلاة الصبح، ويقطعها صلاة العصر آخر
أيام التشريق. رواه الحاكم والبيهقي بإسناد ضعيف
Artinya:
Dari ‘ali dan ‘ammar, mereka berkata: Suatu ketika Nabi shollallohu ‘alaihi
wasallam mengeraskan bacaan “bismillahir rohmanir rohim” dan Beliau melakukan
“qunut” pada sholat shubuh, Beliau juga bertakbir pada hari ‘arofah dari mulai
sholat shubuh, dan Beliau berhenti pada sholat ‘ashar di akhir hari-hari
tasyriq. HR. alHakim dan alBaihaqi dengan sanad dho’if.
Tata cara
Kemudian asy-syafi’i menjelaskan bahwa
takbir ini dimulai oleh imam sholat jama’ah mereka, dilaksanakan setelah sholat
fardhu, kemudian diikuti oleh para jama’ah bertakbir secara bersama-sama dengan
imam. Takbir ini diikuti pula oleh orang-orang yang tidak ikut berjama’ah,
bertakbir bersama di waktu tersebut, apakah mereka tersebut adalah orang yang
muqim atau musafir, laki-laki atau wanita, apakah dalam keadaan haidh, junub
atau tanpa wudhu’, maupun dalam setiap aktifitas, keumuman ini sebagaimana nash
berikut
قال
تعالى: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ.
البقرة: ٢٠٣
Alkhotib
dan arromli mengatakan, menyimpulkan dari annawawi: Kalau pendapat imam tentang
waktu dimulainya takbir tersebut berbeda dengan makmum, maka supaya mengikuti
yang diyakini olehnya.
Ketika
sholat sendiri, sebagaimana yang diriwayatkan dari al-hasan, qotadah,
asy-sya’bi, mujahid, ini adalah madzhab malik, al-auza’i, abu yusuf, muhammad dan
asysyafi’i. Asy-sya’bi mengatakan: sholat sendirian tersebut meskipun nafilah. Sedang
diriwayatkan dari ibnu mas’ud dan ibnu ‘umar bahwa takbir hanya untuk orang
yang sholat berjama’ah, ini adalah madzhab ats-tsauri, an-nakho’i, abu hanifah
dan ahmad.
Tentang
musafir, diriwayatkan dari alhasan albashri, malik, asy-syafi’i, ahmad, abu
tsaur, ya’qub dan muhammad. Sedang abu hanifah mengatakan: Bagi musafir tidak
perlu melakukan takbir.
Tentang
wanita, diriwayatkan dari maimunah, ummu salamah, alhasan albashri dan
annakho’i, ini adalah salah satu ucapan malik dan pendapat abu yusuf, muhammad,
asy-syafi’i dan abuts tsaur. Sedang riwayat lain dari alhasan adalah mereka
tidak bertakbir, menurut ats-tsauri: mereka tidak bertakbir kecuali dalam
sholat jama’ah.
Kemudian Asy-syafi’i menjelaskan:
Orang-orang dibelakang imam supaya ikut bertakbir, meskipun si imam tidak
melakukannya atau dia bercakap-cakap terlebih dahulu.
Takbir setelah sholat qodho’ dan nafilah
Takbir juga dianjurkan setelah sholat
qodho’, ini diriwayatkan dari ibnu sirin, asy-sya’bi, ibnu syabromah,
ats-tsauri, al-auza’i, ini merupakan pendapat malik, asy-syafi’i, ahmad, ishaq,
abu tsaur dan ashhabur ro’yi. Inilah yang disepakati para ashhab syafi’i,
dikisahkan oleh mereka bahwa ada pendapat lain dari sebagaian mereka yang
mengatakan tidak perlu bertakbir karena takbir merupakan syi’ar diwaktu
sholat-sholat fardhu.
Kemudian
para ashhab kita menjelaskan bahwa mengqodho’nya tersebut dengan syarat masih
didalam waktu disyari’atkan bertakbir, yaitu hingga diakhir hari tasyriq, maka
kalau melewati waktu tersebut tidak perlu bertakbir. Sedang kalau sholat yang
diqodho’ tersebut ditinggalkan sebelum waktu tersebut, kemudian diqodho’
didalam waktu tersebut, maka supaya juga bertakbir karena takbir merupakan
syi’ar diwaktu tersebut sebagaimana yang dishohihkan oleh sebagian ashhab.
Kalau ada seseorang yang lupa tidak
bertakbir setelah sholatnya, maka dia tetap dianjurkan untuk bertakbir meskipun
waktunya tersebut sudah lama, akan tetapi para ashhab berbeda pendapat apakah
waktu yang lama tersebut seperti sujud sahwi yang kalau sudah terlalu lama
tidak perlu dilakukan dan sebatas ingatnya atau tidak. Almutawalli menukil dari
abu hanifah bahwa kalau ada seseorang berbicara atau keluar dari masjid yang
kemudian di ingat kalau belum bertakbir maka tidak perlu bertakbir.
Annawawi
mengatakan bahwa bagi seorang musholli yang masbuq juga bertakbir yaitu setelah
dia selesai dari sholatnya sendiri.
Takbir juga dilaksanakan setelah sholat
nafilah, ini diriwayatkan dari asy-sya’bi, mujahid, muhammad bin ‘ali dan
muhammad bin almunkadir, ini adalah pendapat asy-syafi’i dan salah satu
pendapat ahmad. Sedang ats-tsauri dan salah satu pendapat asysyafi’i dan ahmad bahwa
tidak perlu bertakbir setelahnya. Para ashhab asysyafi’i berbeda pandangan soal
penukilan perkataan dari beliau, perbedaan terletak pada nukilan almuzani dalam
mukhtashornya yang mana beliau mengatakan bahwa asysyafi’i mengatakan: yang
lebih utama sebelum ini yaitu supaya tidak bertakbir kecuali setelah sholat
fardhu. Karena ini diantara mereka ada yang mengatakan bahwa asysyafi’i
mempunyai dua pendapat. Yang kedua bahwa beliau mempunyai satu pendapat yaitu
bertakbir setelah sholat nafilah, menurut alqodhi abuth thoyyib bahwa nukilan
almuzani adalah salah, pandangan alqodhi ini dibenarkan oleh albandaniji. Yang
ketiga adalah kebalikan yang kedua yaitu bahwa beliau mempunyai satu pendapat
yaitu tidak bertakbir, sebagaimana dikisahkan oleh almawardi, ini yang banyak
dipraktekkan oleh masyarakat. Yang keempat yaitu kalau sholat nafilah tersebut
disyari’atkan untuk berjama’ah maka bertakbir, kalau tidak maka tidak perlu
bertakbir, ini sebagaimana dikisahkan pula oleh almawardi. Dari kesemua ini
bahwa pendapat pertama adalah yang paling masyhur diantara ashhab dan yang
dishohihkan oleh mereka, kemudian diantara dua pendapat asy-syafi’i diatas yang
paling shohih menurut mereka adalah disyari’atkannya takbir setelahnya.
Kemudian para ashhab menjelaskan bahwa sholat
nafilah ini bersifat umum, apakah yang dilakukan karena ada sebab seperti
sholat tahiyyatul masjid, kusuf, istisqo’ atau lainnya, juga yang tanpa sebab seperti
sholat sunnah rowatib, dhuha, ‘id dan sesamanya, maupun sholat nafilah tersebut
sholat muthlaq, begitu pula sholat jenazah meskipun tanpa adzan dan iqomah
didalamnya, sedang setelah sujud tilawah dan syukur, mayoritas ashhab tidak
menganjurkannya karena dua sujud tersebut bukan merupakan sholat, sedang syaikh
abu hamid menganjurkannya dalam kitabnya “arrounaq” akan tetapi pendapat ini
dilemahkan oleh mayoritas ashhab.
Syaikhul
islam zakaria alanshori menjelaskan dalam al-asna dan alghuror-nya bahwa takbir
juga dianjurkan setelah sholat yang dilakukan karena nadzar.
Lafadz takbir
Lafadz bacaan takbir di hari-hari tersebut
adalah:
الله
أكبر، الله أكبر، الله أكبر.
bertakbir tiga kali secara berturut-turut, ini diriwayatkan dari ibnu
‘abbas dan jabir bin ‘abdulloh, alhasan albashri, ‘atho’ bin abi robbah dan
diucapkan oleh malik dan asy-syafi’i, sedang almutawali menceritakan dari qoul
qodimnya asy-syafi’i dengan dua takbir.
Riwayat lainnya, yaitu:
الله
أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
Lafadz takbir ini diriwayatkan dari ‘umar, ‘ali dan ibnu mas’ud,
dan dikatakan oleh ats-tsauri, annakho’i, abu hanifah, muhammad, ahmad dan
ishaq. Sedang riwayat dari ibnul mubarok dengan tambahan على ما هدانا.
Diriwayatkan dari ‘umar, ‘ali dan ibnu mas’ud lainnya untuk
men-jama’/mengumpulkan kedua lafadz tersebut, yaitu bertakbir tiga kali
kemudian bertahlil. Ibnu ‘abdul barr berkata dalam al-istidzkar: Yang shohih
dari mereka bertiga adalah dengan tiga kali. Ini diriwayatkan dari malik,
sedang albandaniji dan arroyani mengkisahkan dari nash asy-syafi’i dalam
mukhtashor albuwaithi: Bertakbir tiga kali, kemudian mengucapkan setelahnya
dengan: لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. Alqodhi
abuth thoyyib mengatakan: Kalau dia bertakbir sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang di waktu tersebut, seperti bertahlil dan bertahmid, maka ini tidak
mengapa. Kemudian ibnush shobbagh menjelaskan: Yang dikatakan tersebut adalah: الله أكبر الله أكبر
ألله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. Arrofi’i mengatakan dalam
almuharror-nya: Supaya mengucapkan lafadz ini setelah bertakbir tiga kali.
Perkataan ini kemudian dipilih dan dikuatkan oleh annawawi dalam alminhaj dan
arroudhoh, diamalkan oleh sebagian ashhab kita terdahulu dan diikuti oleh
ashhab kita dari generasi akhir.
Penyatuan kedua lafadz diatas tidak ditemukan dalam nash-nash asy-syafi’i lainnya seperti dalam kitabnya
al-umm maupun mukhtashor almuzani, meskipun didalamnya beliau mengatakan: kalau
mau menambahi takbir tersebut maka itu baik. Akan tetapi penambahan dari beliau
adalah:
الله
أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، وسبحان الله بكرة وأصيلا الله أكبر، ولا نعبد إلا الله
مخلصين له الدين، ولو كره الكافرون لا إله إلا الله وحده صدق وعده، ونصر عبده، وهزم
الأحزاب وحده لا إله إلا الله، والله أكبر.
Lafadz pernah diucapkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam di
atas shofa ketika haji wada’;
روي عن جابر بن عبد الله قال: بدأ النبي صلى الله عليه وسلم بالصفا،
فرقي عليه، حتى رأى البيت فاستقبل القبلة، فوحد الله وكبره، وقال: لا إله إلا الله
وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير، لا إله إلا الله وحده، أنجز
وعده، ونصر عبده، وهزم الأحزاب وحده. رواه مسلم
Kemudian ashhab beliau mengatakan bahwa kalau ingin
menyempurnakannya, yaitu bertakbir tiga kali terlebih dahulu, sebagaimana yang
dikatakan oleh asy-syafi’i, kemudian bertahlil, baru lafadz ini, wallohu a’lam.
Dinukil
oleh para ashhab dari asy-syafi’i lainnya dalam qoul qodim, yaitu seperti
bacaan diatas shofa:
الله
أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، والله أكبر على ما هدانا، والحمد لله على ما أبلانا.
Imamul
haromain dan ibnur rif’ah mengomentari lafadz asy-syafi’i ini dengan
mengatakan: Aku tidak melihat sandaran ucapan asy-syafi’i ini atas suatu hadits
ataupun atsar, akan tetapi mungkin dia menetapkan ini dengan do’a-doa yang
ma’tsur, kemudian dia melihat bahwa pantas untuk dikaitkan dengan takbir.
Aku
katakan: mungkin asy-syafi’i mengisyaratkan pada hadits berikut;
Wallohu
a’lam.
Riwayat lainnya lagi, yaitu dari ibnu ‘abbas;
الله
أكبر، الله أكبر، الله أكبر كبيرا، الله أكبر تكبيرا، الله أكبر وأجل، الله أكبر ولله
الحمد.
Juga dari ibnu ‘umar;
الله
أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء
قدير.
Dikeraskan
Takbir tersebut dianjurkan untuk
dikeraskan sebagaimana yang dilakukan oleh jama’ah haji dengan talbiyah, karena
merupakan syi’ar yang seyogyanya untuk dinampakkan juga untuk mengingatkan bagi
yang lain. Diriwayatkan dari ‘umar bahwa ketika berada di mina beliau bertakbir
didalam kemahnya, hingga didengar oleh orang-orang yang berada dimasjid
kemudian mereka ikut bertakbir, terdengar pula oleh orang-orang yang sedang
berada dipasar yang kemudian mereka ikut bertakbir, sehingga mina bergemuruh
dengan suara takbir. Albukhori juga meriwayatkan dari ibnu ‘umar dan abi
huroiroh bahwa mereka keluar ke pasar di hari-hari kesepuluh untuk bertakbir,
kemudian orang-orang ikut pula bertakbir bersama mereka, alfakihi dalam akhbaru
makkah, abu bakr bin ja’far dalam asy-syafi dan abu bakr almarwazi dalam
kitabul ‘idain menambahi: mereka tidak mendatangi pasar tersebut selain untuk
tujuan tersebut.
Imam
haromain mengatakan dalam annihayah bahwa kalau ada seseorang yang bertakbir
secara terus menerus diselain waktu setelah sholat, secara lirih, untuk tujuan
berdzikir kepada Alloh ta’ala, maka tidak mengapa.
Diatas telah disebutkan bahwa para wanita
juga dianjurkan untuk bertakbir, akan tetapi mereka tidak diperkenankan untuk
mengeraskan suaranya. Syaikhul islam mengisahkan dari arrofi’i bahwa beliau
mengecualikan atas para wanita dari mengeraskan suara, beliau menjelaskan yaitu
ketika ada orang yang bukan mahromnya dan sesamanya. Asy-syibromalisi
mengatakan: ini dikecualikan kalau dia berada didalam rumahnya atau sesamanya
dan disampingnya tidak ada laki-laki lain maka dia diperkenankan untuk
mengeraskan. Syaikhul islam juga mengatakan: yang termasuk juga adalah hukum
khuntsa (banci/laki-laki yang berprilaku seperti wanita).
Wallohu
a’lam bish showab.