Takbir muqoyyad, ‘amalan di hari-hari tasyriq


     Takbir muqoyyad adalah takbir yang dibatasi waktunya, yaitu yang dilakukan setelah sholat-sholat fardhu khusus di waktu ‘idul adhha, takbir ini dianjurkan sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ﴾. البقرة: ٢٠٣
Artinya: Berdzikir(ingat)lah kepada Alloh dihari-hari tertentu. Albaqoroh: 203
Ibnu ‘abbas, ibnu ‘umar, sa’id bin jubair, alhasan albashri, mujahid, assaddi, adhdhohak, atho’ dan qotadah mengatakan bahwa hari-hari tertentu adalah hari-hari tasyriq, perkataan ini disampaikan oleh malik, ma’mar bin mutasanna dan ibnu rohawaih. Ini selaras dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam,
روى نبيشة عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ. رواه مسلم
Artinya: diriwayatkan dari nabisyah dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda: Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan ingat kepada Alloh. HR. Muslim
Albaghowi mengatakan: disebut yang dibatasi karena sedikitnya.
Alkhoththobi mengatakan: hikmah disyari’atkannya takbir pada hari-hari tersebut karena orang-orang jahiliyah dahulu menyembelih untuk sesembahan-sesembahan mereka di waktu-waktu tersebut, maka disyari’atkanlah bertakbir di waktu tersebut sebagai petunjuk untuk mengkhususkan penyembelihan hanya untukNya dan diatas namaNya.
     Hari-hari tasyriq adalah hari dimana para jama’ah haji diperintahkan untuk menghentikan bacaan talbiyah mereka dengan diganti dengan bacaan takbir di setiap lemparan mereka terhadap jamarot,
قال تعالى: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ﴾. البقرة: ٢٠٠
Alloh berfirman: Jika kalian telah menyelesaikan manasik kalian maka bersegeralah untuk mengingat Alloh. Albaqoroh: 200
Diriwayatkan bahwa ‘umar bin alkhoththob berada di mina, beliau bertakbir didalam kemahnya yang kemudian terdengar oleh orang-orang yang berada di masjid maka mereka ikut pula bertakbir, terdengar pula oleh orang-orang yang berada di pasar maka mereka ikut pula bertakbir, hingga mina menjadi gemuruh oleh suara orang-orang bertakbir secara serentak.
waktu
     Mereka dianjurkan untuk bertakbir yaitu setelah sholat dzuhur dihari nahr tanggal 10 setelah mereka melaksanakan melempar jumroh ‘aqobah, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat sebelumnya, hingga setelah sholat shubuh di akhir hari-hari tayriq yaitu tanggal 13, karena ketika mereka melakukan nafar tsani, sunnahnya melempar jumroh dilakukan setelah dzuhur dan sholat dzuhurnya dalam nafar mereka dan tidak di mina. Annawawi mengatakan bahwa para ‘ulama tidak berbeda pendapat dalam permasalahan ini.
     Adapun bagi selain para jama’ah haji, para ‘ulama perbeda pendapat, yang pertama yaitu setelah sholat dzuhur hari nahar sampai setelah sholat shubuh akhir hari tasyriq, orang-orang yang tidak berhaji mengikuti ‘amalan para jama’ah haji, di’amalkan setelah 15 sholat fardhu, pendapat ini diriwayatkan dari ibnu ‘umar dan ‘umar bin ‘abdul’aziz, dan ini adalah pendapat malik dan yang masyhur dari asy-syafi’i dalam riwayat almuzani dan albuwaithi dan dalam kesemua kitab beliau yang jadid maupun qodim, dan yang dishohihkan oleh kebanyakan para ashhabnya dari generasi awal.
     Pendapat yang kedua yaitu setelah sholat dzuhur hari nahar sampai setelah sholat ashar akhir hari tasyriq, pendapat ini diriwayatkan dari ‘utsman, ibnu ‘umar, zaid bin tsabit, sa’id bin jubair, abu sa’id alhudzri, salah satu riwayat dari ibnu ‘abbas dan ibnu ‘umar, dan ini adalah pendapat azzuhri. ‘atho’ bin abi robah mengatakan: para imam pertakbir setelah dzuhur hari nahar, mereka memulai takbir dari situ sampai akhir di hari-hari tasyriq.
     Yang ketiga yaitu setelah sholat dzuhur hari nahar sampai setelah sholat dzuhur akhir hari tasyriq, pendapat ini diriwayatkan dari yahya al-anshori.
     Yang keempat yaitu setelah sholat shubuh hari ‘arofah sampai setelah sholat ashar akhir hari tasyriq, setelah 23 sholat fardhu, pendapat ini diriwayatkan dari ‘umar, ‘ali, ibnu ‘abbas, ibnu mas’ud dan ‘abdulloh bin sa’id, ini adalah pendapat makhul, ats-tsauri, adh-dhohhak, ibnu ‘uyainah, abu yusuf, muhammad, asy-syafi’i dalam salah satu pendapatnya, ahmad dan abu tsaur. Dan ini yang dipilih oleh almuzani, ibnu suraij dan annawawi dari para ashhab syafi’iyyah, dishohihkan oleh annawawi dan diikuti oleh para ashhab setelahnya, albaghowi mengatakan: ini adalah pendapat kebanyakan ‘ulama.
     Yang kelima yaitu setelah sholat shubuh hari ‘arofah sampai setelah sholat ‘ashar hari nahar, ibnu mas’ud dalam salah satu pendapatnya, ‘alqomah, annakho’i dan abu hanifah.
     Yang keenam yaitu setelah sholat shubuh hari ‘arofah sampai dzuhur hari nahar, salah satu riwayat dari ibnu mas’ud dan dikatakan oleh abu wa’il.
     Yang ketujuh yaitu setelah sholat dzuhur hari ‘arofah sampai ashar akhir taysriq, ini adalah salah satu riwayat dari sa’id bin jubair, ibnu ‘abbas dan azzuhri, dan ini adalah pendapat dawud.
     Yang kedelapan yaitu setelah sholat dzuhur hari nahar sampai sholat ashar hari nafar pertama, ini adalah salah satu riwayat dari ibnu ‘abbas dan alhasan albashri.
     Yang kesembilan yaitu setelah sholat dzuhur hari tasyriq pertama hingga dzuhur di hari tasyriq kedua, ini diriwayatkan dari alhasan albashri.
     Yang kesepuluh yaitu setelah sholat maghrib malam hari nahar hingga ashar diakhir hari tasyriq, ini adalah salah satu pendapat asy-syafi’i, khusus tentang imam asy-syafi’i, beliau mempunyai tiga pendapat dalam masalah ini sebagaimana yang telah kami sebutkan, sedang menurut abu ishaq almarwazi dan ibnu abi huroiroh bahwa asy-syafi’i hanya mempunyai satu pendapat yaitu setelah dzuhur hari nahar sampai setelah sholat shubuh akhir hari tasyriq, sedang pendapat setelah sholat maghrib malam hari nahar, maksud asy-syafi’i adalah takbir muthlaq, dan pendapat setelah setelah shubuh hari ‘arofah adalah bahwa beliau menceritakan tentang pandangan ‘ulama lain. Sedang menurut abu ishaq almarwazi lainnya sebagaimana diceritakan oleh alqodhi abuth thoyyib dari addariki, asy-syeikh abu ishaq mengatakan bahwa yang ditetapkan oleh asy-syafi’i adalah setelah shubuh hari ‘arofah, karena beliau menyebutkan dari sebagian salaf, beliau menyebutkan malam nahar sebagai qiyas atas malam ‘idul fithri dan dzuhur hari nahar sebagai qiyas atas para jama’ah haji.
     Yang shohih dari kesemua diatas adalah pendapat yang keempat yaitu setelah sholat shubuh hari ‘arofah sampai setelah sholat ashar akhir hari tasyriq, diantara petunjuk yang menjelaskannya yaitu;
روى محمد بن أبى بكر الثقفي، قال: سألت أنسا، ونحن غاديان من منى إلى عرفات، عن التلبية: كيف كنتم تصنعون مع النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: كان يلبِّى الملبِّى لا ينكر عليه، ويكبِّر المكبِّر فلا ينكر عليه. رواه البخاري ومسلم
Artinya: Diriwayatkan dari muhammad bin abi bakr ats-tsaqofi, dia berkata: aku berkata kepada anas –waktu itu kami pagi-pagi berangkat dari mina menuju ‘arofah- tentang masalah talbiyyah; Bagaimana yang kalian perbuat bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam? Dia menjawab: ada yang bertalbiyah dan Beliau tidak melarangnya, ada pula yang bertakbir dan Beliau pula tidak melarangnya. HR. Bukhori dan Muslim
وعن ابن عمر، قال: كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في غداة عرفة، فمِنَّا المكبِّر ومِنَّا المهلِّل، فأمّا نحن فنكبِّر. رواه مسلم
Artinya: Dari ibnu ‘umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata: Kami bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam di pagi hari ‘arofah, ada diantara kami yang bertakbir ada pula yang bertahlil, sedang kami sendiri mengumandangkan takbir. HR. Muslim
وعن جابر، قال: أن النبي صلى الله عليه وسلم صلّى الصبح يوم عرفة، وأقبل علينا، فقال: الله أكبر الله أكبر، ومد التكبير إلى العصر من آخر أيام التشريق. رواه الدارقطني والبيهقي بإسناد ضعيف
Artinya: Dari jabir, dia berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam telah melaksanakan sholat shubuh di hari ‘arofah, setelah itu Beliau menghadap ke kami, kemudian mengucapkan: allohu akbar ullohu akbar, Beliau terus bertakbir hingga waktu ‘ashar di hari akhir tasyriq. HR. adDaruquthni dan albaihaqi dengan sanad dho’if.
وعن عليّ وعمار، قالا: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يجهر في المكتوبات ببسم الله الرحمن الرحيم، وكان يقنت في صلاة الفجر، وكان يكبِّر يوم عرفة من صلاة الصبح، ويقطعها صلاة العصر آخر أيام التشريق. رواه الحاكم والبيهقي بإسناد ضعيف
Artinya: Dari ‘ali dan ‘ammar, mereka berkata: Suatu ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mengeraskan bacaan “bismillahir rohmanir rohim” dan Beliau melakukan “qunut” pada sholat shubuh, Beliau juga bertakbir pada hari ‘arofah dari mulai sholat shubuh, dan Beliau berhenti pada sholat ‘ashar di akhir hari-hari tasyriq. HR. alHakim dan alBaihaqi dengan sanad dho’if.
Tata cara
     Kemudian asy-syafi’i menjelaskan bahwa takbir ini dimulai oleh imam sholat jama’ah mereka, dilaksanakan setelah sholat fardhu, kemudian diikuti oleh para jama’ah bertakbir secara bersama-sama dengan imam. Takbir ini diikuti pula oleh orang-orang yang tidak ikut berjama’ah, bertakbir bersama di waktu tersebut, apakah mereka tersebut adalah orang yang muqim atau musafir, laki-laki atau wanita, apakah dalam keadaan haidh, junub atau tanpa wudhu’, maupun dalam setiap aktifitas, keumuman ini sebagaimana nash berikut
قال تعالى: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ. البقرة: ٢٠٣
Alkhotib dan arromli mengatakan, menyimpulkan dari annawawi: Kalau pendapat imam tentang waktu dimulainya takbir tersebut berbeda dengan makmum, maka supaya mengikuti yang diyakini olehnya.
Ketika sholat sendiri, sebagaimana yang diriwayatkan dari al-hasan, qotadah, asy-sya’bi, mujahid, ini adalah madzhab malik, al-auza’i, abu yusuf, muhammad dan asysyafi’i. Asy-sya’bi mengatakan: sholat sendirian tersebut meskipun nafilah. Sedang diriwayatkan dari ibnu mas’ud dan ibnu ‘umar bahwa takbir hanya untuk orang yang sholat berjama’ah, ini adalah madzhab ats-tsauri, an-nakho’i, abu hanifah dan ahmad.
Tentang musafir, diriwayatkan dari alhasan albashri, malik, asy-syafi’i, ahmad, abu tsaur, ya’qub dan muhammad. Sedang abu hanifah mengatakan: Bagi musafir tidak perlu melakukan takbir.
Tentang wanita, diriwayatkan dari maimunah, ummu salamah, alhasan albashri dan annakho’i, ini adalah salah satu ucapan malik dan pendapat abu yusuf, muhammad, asy-syafi’i dan abuts tsaur. Sedang riwayat lain dari alhasan adalah mereka tidak bertakbir, menurut ats-tsauri: mereka tidak bertakbir kecuali dalam sholat jama’ah.
     Kemudian Asy-syafi’i menjelaskan: Orang-orang dibelakang imam supaya ikut bertakbir, meskipun si imam tidak melakukannya atau dia bercakap-cakap terlebih dahulu.
Takbir setelah sholat qodho’ dan nafilah
     Takbir juga dianjurkan setelah sholat qodho’, ini diriwayatkan dari ibnu sirin, asy-sya’bi, ibnu syabromah, ats-tsauri, al-auza’i, ini merupakan pendapat malik, asy-syafi’i, ahmad, ishaq, abu tsaur dan ashhabur ro’yi. Inilah yang disepakati para ashhab syafi’i, dikisahkan oleh mereka bahwa ada pendapat lain dari sebagaian mereka yang mengatakan tidak perlu bertakbir karena takbir merupakan syi’ar diwaktu sholat-sholat fardhu.
Kemudian para ashhab kita menjelaskan bahwa mengqodho’nya tersebut dengan syarat masih didalam waktu disyari’atkan bertakbir, yaitu hingga diakhir hari tasyriq, maka kalau melewati waktu tersebut tidak perlu bertakbir. Sedang kalau sholat yang diqodho’ tersebut ditinggalkan sebelum waktu tersebut, kemudian diqodho’ didalam waktu tersebut, maka supaya juga bertakbir karena takbir merupakan syi’ar diwaktu tersebut sebagaimana yang dishohihkan oleh sebagian ashhab.
     Kalau ada seseorang yang lupa tidak bertakbir setelah sholatnya, maka dia tetap dianjurkan untuk bertakbir meskipun waktunya tersebut sudah lama, akan tetapi para ashhab berbeda pendapat apakah waktu yang lama tersebut seperti sujud sahwi yang kalau sudah terlalu lama tidak perlu dilakukan dan sebatas ingatnya atau tidak. Almutawalli menukil dari abu hanifah bahwa kalau ada seseorang berbicara atau keluar dari masjid yang kemudian di ingat kalau belum bertakbir maka tidak perlu bertakbir.
Annawawi mengatakan bahwa bagi seorang musholli yang masbuq juga bertakbir yaitu setelah dia selesai dari sholatnya sendiri.
     Takbir juga dilaksanakan setelah sholat nafilah, ini diriwayatkan dari asy-sya’bi, mujahid, muhammad bin ‘ali dan muhammad bin almunkadir, ini adalah pendapat asy-syafi’i dan salah satu pendapat ahmad. Sedang ats-tsauri dan salah satu pendapat asysyafi’i dan ahmad bahwa tidak perlu bertakbir setelahnya. Para ashhab asysyafi’i berbeda pandangan soal penukilan perkataan dari beliau, perbedaan terletak pada nukilan almuzani dalam mukhtashornya yang mana beliau mengatakan bahwa asysyafi’i mengatakan: yang lebih utama sebelum ini yaitu supaya tidak bertakbir kecuali setelah sholat fardhu. Karena ini diantara mereka ada yang mengatakan bahwa asysyafi’i mempunyai dua pendapat. Yang kedua bahwa beliau mempunyai satu pendapat yaitu bertakbir setelah sholat nafilah, menurut alqodhi abuth thoyyib bahwa nukilan almuzani adalah salah, pandangan alqodhi ini dibenarkan oleh albandaniji. Yang ketiga adalah kebalikan yang kedua yaitu bahwa beliau mempunyai satu pendapat yaitu tidak bertakbir, sebagaimana dikisahkan oleh almawardi, ini yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat. Yang keempat yaitu kalau sholat nafilah tersebut disyari’atkan untuk berjama’ah maka bertakbir, kalau tidak maka tidak perlu bertakbir, ini sebagaimana dikisahkan pula oleh almawardi. Dari kesemua ini bahwa pendapat pertama adalah yang paling masyhur diantara ashhab dan yang dishohihkan oleh mereka, kemudian diantara dua pendapat asy-syafi’i diatas yang paling shohih menurut mereka adalah disyari’atkannya takbir setelahnya.
     Kemudian para ashhab menjelaskan bahwa sholat nafilah ini bersifat umum, apakah yang dilakukan karena ada sebab seperti sholat tahiyyatul masjid, kusuf, istisqo’ atau lainnya, juga yang tanpa sebab seperti sholat sunnah rowatib, dhuha, ‘id dan sesamanya, maupun sholat nafilah tersebut sholat muthlaq, begitu pula sholat jenazah meskipun tanpa adzan dan iqomah didalamnya, sedang setelah sujud tilawah dan syukur, mayoritas ashhab tidak menganjurkannya karena dua sujud tersebut bukan merupakan sholat, sedang syaikh abu hamid menganjurkannya dalam kitabnya “arrounaq” akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh mayoritas ashhab.
Syaikhul islam zakaria alanshori menjelaskan dalam al-asna dan alghuror-nya bahwa takbir juga dianjurkan setelah sholat yang dilakukan karena nadzar.
Lafadz takbir
     Lafadz bacaan takbir di hari-hari tersebut adalah:
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر.
bertakbir tiga kali secara berturut-turut, ini diriwayatkan dari ibnu ‘abbas dan jabir bin ‘abdulloh, alhasan albashri, ‘atho’ bin abi robbah dan diucapkan oleh malik dan asy-syafi’i, sedang almutawali menceritakan dari qoul qodimnya asy-syafi’i dengan dua takbir.
Riwayat lainnya, yaitu:
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
Lafadz takbir ini diriwayatkan dari ‘umar, ‘ali dan ibnu mas’ud, dan dikatakan oleh ats-tsauri, annakho’i, abu hanifah, muhammad, ahmad dan ishaq. Sedang riwayat dari ibnul mubarok dengan tambahan على ما هدانا.
Diriwayatkan dari ‘umar, ‘ali dan ibnu mas’ud lainnya untuk men-jama’/mengumpulkan kedua lafadz tersebut, yaitu bertakbir tiga kali kemudian bertahlil. Ibnu ‘abdul barr berkata dalam al-istidzkar: Yang shohih dari mereka bertiga adalah dengan tiga kali. Ini diriwayatkan dari malik, sedang albandaniji dan arroyani mengkisahkan dari nash asy-syafi’i dalam mukhtashor albuwaithi: Bertakbir tiga kali, kemudian mengucapkan setelahnya dengan: لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. Alqodhi abuth thoyyib mengatakan: Kalau dia bertakbir sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang di waktu tersebut, seperti bertahlil dan bertahmid, maka ini tidak mengapa. Kemudian ibnush shobbagh menjelaskan: Yang dikatakan tersebut adalah: الله أكبر الله أكبر ألله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد. Arrofi’i mengatakan dalam almuharror-nya: Supaya mengucapkan lafadz ini setelah bertakbir tiga kali. Perkataan ini kemudian dipilih dan dikuatkan oleh annawawi dalam alminhaj dan arroudhoh, diamalkan oleh sebagian ashhab kita terdahulu dan diikuti oleh ashhab kita dari generasi akhir.
Penyatuan kedua lafadz diatas tidak ditemukan dalam nash-nash  asy-syafi’i lainnya seperti dalam kitabnya al-umm maupun mukhtashor almuzani, meskipun didalamnya beliau mengatakan: kalau mau menambahi takbir tersebut maka itu baik. Akan tetapi penambahan dari beliau adalah:
الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، وسبحان الله بكرة وأصيلا الله أكبر، ولا نعبد إلا الله مخلصين له الدين، ولو كره الكافرون لا إله إلا الله وحده صدق وعده، ونصر عبده، وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله، والله أكبر.
Lafadz pernah diucapkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam di atas shofa ketika haji wada’;
روي عن جابر بن عبد الله قال: بدأ النبي صلى الله عليه وسلم بالصفا، فرقي عليه، حتى رأى البيت فاستقبل القبلة، فوحد الله وكبره، وقال: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير، لا إله إلا الله وحده، أنجز وعده، ونصر عبده، وهزم الأحزاب وحده. رواه مسلم
Kemudian ashhab beliau mengatakan bahwa kalau ingin menyempurnakannya, yaitu bertakbir tiga kali terlebih dahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh asy-syafi’i, kemudian bertahlil, baru lafadz ini, wallohu a’lam.
Dinukil oleh para ashhab dari asy-syafi’i lainnya dalam qoul qodim, yaitu seperti bacaan diatas shofa:
 الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، والله أكبر على ما هدانا، والحمد لله على ما أبلانا.
Imamul haromain dan ibnur rif’ah mengomentari lafadz asy-syafi’i ini dengan mengatakan: Aku tidak melihat sandaran ucapan asy-syafi’i ini atas suatu hadits ataupun atsar, akan tetapi mungkin dia menetapkan ini dengan do’a-doa yang ma’tsur, kemudian dia melihat bahwa pantas untuk dikaitkan dengan takbir.
Aku katakan: mungkin asy-syafi’i mengisyaratkan pada  hadits berikut;

Wallohu a’lam.
Riwayat lainnya lagi, yaitu dari ibnu ‘abbas;
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر كبيرا، الله أكبر تكبيرا، الله أكبر وأجل، الله أكبر ولله الحمد.
Juga dari ibnu ‘umar;
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير.
Dikeraskan
     Takbir tersebut dianjurkan untuk dikeraskan sebagaimana yang dilakukan oleh jama’ah haji dengan talbiyah, karena merupakan syi’ar yang seyogyanya untuk dinampakkan juga untuk mengingatkan bagi yang lain. Diriwayatkan dari ‘umar bahwa ketika berada di mina beliau bertakbir didalam kemahnya, hingga didengar oleh orang-orang yang berada dimasjid kemudian mereka ikut bertakbir, terdengar pula oleh orang-orang yang sedang berada dipasar yang kemudian mereka ikut bertakbir, sehingga mina bergemuruh dengan suara takbir. Albukhori juga meriwayatkan dari ibnu ‘umar dan abi huroiroh bahwa mereka keluar ke pasar di hari-hari kesepuluh untuk bertakbir, kemudian orang-orang ikut pula bertakbir bersama mereka, alfakihi dalam akhbaru makkah, abu bakr bin ja’far dalam asy-syafi dan abu bakr almarwazi dalam kitabul ‘idain menambahi: mereka tidak mendatangi pasar tersebut selain untuk tujuan tersebut.
Imam haromain mengatakan dalam annihayah bahwa kalau ada seseorang yang bertakbir secara terus menerus diselain waktu setelah sholat, secara lirih, untuk tujuan berdzikir kepada Alloh ta’ala, maka tidak mengapa.
     Diatas telah disebutkan bahwa para wanita juga dianjurkan untuk bertakbir, akan tetapi mereka tidak diperkenankan untuk mengeraskan suaranya. Syaikhul islam mengisahkan dari arrofi’i bahwa beliau mengecualikan atas para wanita dari mengeraskan suara, beliau menjelaskan yaitu ketika ada orang yang bukan mahromnya dan sesamanya. Asy-syibromalisi mengatakan: ini dikecualikan kalau dia berada didalam rumahnya atau sesamanya dan disampingnya tidak ada laki-laki lain maka dia diperkenankan untuk mengeraskan. Syaikhul islam juga mengatakan: yang termasuk juga adalah hukum khuntsa (banci/laki-laki yang berprilaku seperti wanita).
Wallohu a’lam bish showab.